Sabtu, 01 Mei 2010

Triple Track Strategy: Upaya Mengurangi Pengangguran dan Kemiskinan

Sejak mendapat mandat dari rakyat, melalui pemilu paling demokratis dalam sejarah Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan kepeduliannya untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan. Concern tersebut kemudian dirumuskan dengan new deal dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Ringkasan dari new deal tersebut tertuang dalam prinsi triple track strategy: pro-growth,pro-job, dan pro-poor.

Track pertama dilakukan dengan meningkatan pertumbuhan dengan mengutamakan ekspor dan investasi. Track kedua, menggerakkan sektor riil untuk menciptakan lapangan kerja. Dan yang ketiga, merevitalisasi pertanian, kehutanan, kelautan dan ekonomi pedesaan untuk mengurangi kemiskinan.

Presiden SBY bersama jajaran kabinet terus melakukan dan mencari langkah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yang akan mengurangi pengangguran dan kemisknan. Anggaran yang dialokasikan untuk mengurangi kemiskinan jumlahnya terus meningkat. Tahun 2004 berjumlah Rp 18 triliun, tahun 2005 meningkat menjadi Rp 23 triliun, tahun 2006 Rp 42 triliun dan tahun 2007 mendatang meningkat lagi menjadi Rp 51 triliun.

Dalam setahun terakhir ada penurunan pengangguran hampir 1 juta, dari total 11 juta menjadi 10 juta. Sayangnya, laju pertumbuhan angkatan kerja baru per tahun mencapai 1,5 juta orang. “Maka kita harus melakukan langkah-langkah sangat gigih, sistematis, dan sangat terarah untuk sekali lagi menciptakan lapangan kerja tersebut,” ujar Presiden SBY usai rakor khusus membahas langkah-langkah bersama mengatasi pengangguran dan menciptakan lapangan kerja bersama 12 menteri bidang ekonomi dan 6 gubernur se-Jawa di Gedung Agung Yogyakarta, Kamis (14/12).

Sejumlah langkah nyata telah, sedang, dan terus diupayakan. Pengalaman banyak negara, juga pengalaman kita, memang tidak semudah membalik telapak tangan untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Dalam Kongres ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia) XVI di Manado, 18 Juni lalu, Presiden SBY menegaskan, fokus mengurangi pengangguran dan kemiskinan ini semata bukan persoalan moral obligation, tapi juga persoalan keadilan. Karena itu pemerintah terus mengupayakannya secara gigih. (har)
.

Lebih Mandiri Tanpa IMF dan CGI

Nada suara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sangat tegas ketika memberi keterangan pers usai menerima Managing Director International Monetary Fund (IMF), Rodrigo de Rato, Rabu (24/1) di Kantor Kepresidenan. “Sejak sekarang ini Indonesia adalah equal partner IMF,” katanya kepada wartawan yang menunggunya di halaman depan Kantor Presiden, sore itu.

Presiden menjelaskan, kita telah mempercepat pelunasan utang kepada IMF pada 2006 lalu. Padahal, utang sebesar 7,8 miliar dolar AS itu semestinya selesai 2010. Percepatan utang itu dilakukan karena kita ingin lebih mandiri. Kita ingat, sejak 1997 pemerintah Indonesia seperti tersandera oleh letter of intent dan post program monitoring, sebagai konsekuensi utang kepada negara-negara yang tergabung dalam CGI (Consultative Group on Indonesia) melalui IMF.

Dengan lunasnya utang-utang tersebut, Presiden SBY menegaskan sejak 2007 ini kita juga tak perlu lagi forum CGI. Seperti sama-sama kita mafhum, negara donor cenderung selalu ingin banyak mengatur. Presiden SBY ingin mengakhiri itu dan memulai babak baru dalam pembangunan Indonesia. Yakni, kita ingin merancang pembangunan kita sendiri dengan lebih bertanggung jawab. Kalaupun harus berutang, Presiden ingin itu dilakukan dalam konteks G to G, antarnegara, bukan melalui forum semacam CGI atau IGGI (Inter Governmental Group for Indonesia) yang dulu. (har)

Desa Mandiri Energi: Diversifikasi, Sekaligus Menggerakkan Ekonomi Pedesaan

Ada "terminologi" baru diperkenalkan Presiden SBY di tahun 2007 ini: Desa Mandiri Energi. Ini bukan sekadar untuk menambah istilah baru dalam khasanah pedesaan kita. Desa Mandiri Energi adalah program baru yang dicanangkan Presiden SBY menyusul krisis energi dunia --Indonesia tak terkecuali-- belakangan ini.

Ketika melakukan kunjungan kerja di Jawa Tengah, Rabu (21/2) lalu, Presiden mengunjungi Desa Mandiri Energi (DME) di Desa Tanjungharjo, Kecamatan Ngaringan, Kabupaten Grobogan. DME merupakan salah satu program agar desa bisa memenuhi kebutuhan energinya sendiri, sekaligus menciptakan lapangan kerja dan mengurangi pengurangan serta kemiskinan di desa-desa tertinggal. Sasaran program ini, antara lain, melepaskan ketergantungan masyarakat desa terhadap BBM, terutama minyak tanah.

Ketergantungan Indonesia terhadap bahan bakar fosil dan tak terbaharukan, seperti minyak bumi (52 persen), gas (28), dan batubara (15) sungguh luar biasa. Dalam situasi krisis energi seperti sekarang, dalam jangka panjang kondisi ini cukup megkawatirkan. Maka tepatlah tekad pemerintah untuk mencari dan mengembangkan energi alternatif melalui bahan bakar nabati (BBN).

DME yang tengah dkembangkan pemerintah ini berbasis kemitraan, baik dengan BUMN maupun swasta. Ada dua tipe DME. Pertama, DME yang dikembangkan dengan non BBM, seperti desa yang menggunakan mikrohidro, tenaga surya, dan biogas. Kedua, DME yang menggunakan bahan bakar nabati atau bioufuel. “Konsep Desa Mandiri Energi ini akan dibangun di seluruh tanah air. Tujuannya adalah agar kantong-kantor kecamatan dan pedesaan dapat lebih mencukupi ketahanan energinya, tidak hanya tergantung pada minyak tanah. Minyak tanah disubsidi pemerintah dan subsidinya besar,” kata Presiden SBY ketika mengunjungi Desa Mandiri di Grobogan itu. (har)

Peran Penting Indonesia

Peran Penting Indonesia
Kompas



Saat ini, Indonesia dapat memberi banyak hal bagi pembahasan tentang bagaimana dunia dapat menghadapi krisis yang sedang berlangsung dan menghindari ketidakstabilan pada masa mendatang.

Indonesia adalah negara ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan pemimpin di ASEAN. Indonesia mengalami reformasi perekonomian seusai krisis keuangan Asia sepuluh tahun lalu. Dipimpin Presiden Yudhoyono dan tim ekonominya, Indonesia berhasil bertahan dan layak mendapat tempat pada pertemuan tingkat tinggi pasar uang mendatang di Washington.

Krisis keuangan global
Saat ini adalah momen sulit dan di luar dugaan perekonomian dunia. Kondisi pasar keuangan dunia benar-benar tertekan. Pertumbuhan perekonomian dunia menghadapi risiko serius. Negara-negara ekonomi terbesar dunia amat merasakan dampak itu. Di Amerika Serikat, pasar keuangan kami mengalami tantangan luar biasa dan hal ini kian menambah tekanan lebih besar pada perekonomian kami yang memang sudah melambat.

Perkembangan ini memengaruhi dunia. Indonesia dan negara-negara dengan pasar yang terus berkembang, telah mengambil langkah mengesankan beberapa tahun terakhir dalam memperkuat fundamentalnya, mempercepat pertumbuhan ekonomi, dan melindungi diri terhadap guncangan dari luar.

Namun, seperti terlihat beberapa pekan terakhir ini, negara-negara dengan pasar yang terus berkembang pun tidak kebal terhadap tekanan krisis keuangan global. Bahkan, pasar keuangan yang tidak langsung berhubungan dengan risiko aset kredit perumahan pun menjadi kian tidak stabil akibat semakin rendahnya kepercayaan pasar, melambatnya pertumbuhan ekspor, dan berbagai perusahaan disubsidi secara berlebihan.

Kita harus bekerja sama mengatasi ketidakstabilan ini dan memulihkan kondisi perekonomian dunia karena semua terpengaruh krisis ini. Dan, itulah mengapa Presiden Bush mengundang Indonesia untuk menghadiri KTT Keuangan Global 15 November di Washington. KTT akan meninjau kemajuan yang telah dicapai guna mengatasi krisis yang sedang terjadi dan mengupayakan kesepakatan tentang prinsip-prinsip reformasi yang dibutuhkan untuk menghindari terjadinya ketidakstabilan serupa.

Peran penting Indonesia
Indonesia akan berperan penting dalam KTT ini. Sebagai satu-satunya negara ASEAN dalam G-20, Indonesia dapat berbagi pengalaman tentang hikmah yang dapat diambil dari krisis keuangan Asia 10 tahun lalu. Indonesia juga dapat menawarkan sudut pandang Asia Tenggara tentang bagaimana menangkal persoalan saat ini dan mencegah terulang lagi.

Tindakan Presiden Yudhoyono dan tim ekonominya yang diketuai Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati dan Gubernur Bank Indonesia Boediono sungguh luar biasa. Hal ini akan memberi pemahaman mendalam tentang bagaimana pasar yang sedang berkembang menghadapi dampak krisis keuangan global. Tim perekonomian Indonesia mampu meredam gejolak pasar saham akibat rumor tidak jelas.

Krisis yang kini terjadi menunjukkan pentingnya kerja sama antara negara-negara perekonomian besar secara berkelanjutan melalui forum, seperti KTT di Washington mendatang, G-20, APEC, dan lembaga-lembaga keuangan internasional. Penting bagi pemerintah mengambil tindakan perseorangan maupun kelompok guna menyediakan bantuan likuiditas yang diperlukan, memperkuat lembaga keuangan, meningkatkan stabilitas pasar, dan mengembangkan solusi peraturan yang komprehensif. Kita juga harus erat mengoordinasi upaya-upaya dalam kerangka lebih umum guna memperkuat sistem secara keseluruhan.

Dibanding masa lalu, kini pertumbuhan dan kesejahteraan suatu negara lebih bergantung pada kondisi negara lain. Para pemimpin dunia perlu waspada terhadap tuntutan proteksi yang tidak dapat dihindari selama tekanan krisis keuangan global. Percepatan perdagangan dan investasi akan mengantar kita keluar dari krisis. Melalui kerja sama dengan komponen utama perekonomian global, Amerika Serikat dan Indonesia harus menerapkan liberalisasi perdagangan dan investasi guna mendorong pertumbuhan dan pemulihan ekonomi secara lebih cepat dari resesi perekonomian dunia.

Indonesia - why there is no recession in the world's leading Muslim economy

Indonesia - why there is no recession in the world's leading Muslim economy

By Terry Lacey

Wednesday, November 12, 2008
DAILY STAR, LEBANON

Report by Terry Lacey

FOLLOWING the election of US President-elect Barack Obama there is likely to be a slow recovery in confidence in the United States financial and banking system. A recession is unavoidable in the US and EU, but with only a downturn in developing countries. This crisis of confidence in the Western banking and financial system comes during the dying days of the most unpopular American presidency in living memory. Financial mismanagement and weak regulatory frameworks have devastated the US economy, making the rich richer and the poor poorer. Two million Americans may lose their homes. Millions in the US and Europe will lose their jobs.

Yet the devastating legacy of the Bush presidency leaves open great opportunities for Indonesia, the Muslim world and the developing countries of the South.

Indonesia can play a key role in leading the Muslim world toward economic recovery, and help minimize the impact of global recession.

First, by managing its national economy to maintain growth, demand, imports and exports. The nominal Gross Domestic Product for 2009 is projected at $547 billion. Indonesia is already in the top 20 economies of the world.

Indonesia is currently overtaking Belgium and Sweden. It will soon overtake Turkey, the Netherlands and Austria as it enormous size, resources and population come into play. It is a strong candidate to join the top 10 economies in the world within two decades.

Second, by mobilizing investment for oil, gas, energy projects, biofuels, infrastructure (roads, railways, ports), manufacturing and retailing sectors. It needs over $40 billion for electricity alone, to finance an additional 40,000 MWe of power by 2025. Indonesia will become a nuclear power, and plans four power stations. Total foreign investment needed overall during the next 15 years exceeds $100 billion.

Investment is still coming from the US and EU (including Eastern Europe) but increasingly from the BRICs (Brazil, Russia, India and China), and also from Asia-Pacific Economic Cooperation countries like Canada, Japan, Korea, Taiwan, and from Association of Southeast Asian Nations member states (including Brunei, Malaysia, Philippines, Singapore, Thailand). Investment is also coming in greater volume from the Gulf Arab states, Israel and South Africa.

Third, Indonesia can help lead Muslim economies by using its economic size and prestige as a member of the United Nations Security Council to join Brazil, Russia, India, China and Southern countries to bring about changes in policies and in the balance of power in world organizations dealing with trade, finance and development, especially the World Bank, the International Monetary Fund (IMF) and World Trade Organization (WTO).

Indonesia has major reservations about the IMF following its own experience in 1998. German Finance Minister Peer Steinbrueck said that the world should not slip into creating a shadow world economic government run by an inner IMF council. Indonesia is also tired of being kept on the fringes in the WTO.

Asia and Southern countries want a new deal. Muslim countries collectively represent an increasingly important source of capital, while Western liquidity has partly dried up. Muslim economies represent important investment sources as well as investment destinations. The collective size of Muslim economies represents significant demand for Western goods and services, relatively unaffected by the recession in the West.

Indonesia can still deploy export credits, sovereign funds, Islamic finance and other non-traditional financial sources, such as environmental funds and carbon credits. Despite the global downturn Indonesia is still pulling in some bank finance.

A $140 million syndicated loan for Excelcomindo for telecommunications expansion was announced recently. Low-cost airline Lion Air is buying 12 Boeing 737 planes even though the required local cash contribution for the last four has risen to 30 percent. Lion Air will use its own cash to carry on expanding. St. Miguel Corp. of the Philippines is competing with a US-led consortium to clinch a $1.3 billion coal supply deal, to buy PT Bumi Resources from Bakri Brothers. There is money here and money coming in.

Standard and Poors is holding Indonesian credit ratings stable and its credit rating may even be raised. Singapore could slip into recession but Indonesia will not, and the reason is mostly sheer size plus improved financial and economic management.

Indonesia is in a key position as the largest Muslim country in the world with a population of 230 million and a land area of 1.9 million square kilometers.

The Indonesian Gross Domestic Product was $843.7 billion in terms of purchasing power and $432.9 billion in terms of official exchange rates in 2007. It has fixed foreign investment of $57.6 billion and holds $9 billion of investment in other countries. It has more than 3,500 millionaires holding over $100 million each, of whom 70 percent live in Jakarta.

Its current economic growth is 6.5 percent and may fall below 6 percent in 2009 due to reduced exports. Government will stimulate growth using the national budget which already reached $100 billion in 2008. Government is confident it can hold growth at 6 percent. The World Bank has set aside a $2 billion standby loan for 2009 only to be triggered if growth falls below 5.8 percent.

In 2007 Indonesian exports were $118 billion and imports $86 billion, a trade surplus of $32 billion, and foreign exchange reserves as of this month were $50 billion.

Indonesia has already lost some jobs in sectors like textiles. Some exports to the US and Europe fell in the fourth quarter. The stock market, government bonds and the national currency also fell in value during the global financial crash in the first week of October.

The government launched a securities buy-back program spearheaded by state-owned enterprises and defended the rupiah currency by intervening in the currency market via the Bank of Indonesia. The government also took steps to increase liquidity and focused on getting inflation under control and on maintaining growth.

The government has increased guarantees on personal deposits to 2 billion rupiahs ($190,000), which covers 100 percent of deposits for over 99.7 percent of 81 million bank accounts.

Indonesian banks are strong, with adequate reserves, low non-performing loans and almost no exposure to subprime losses. Only a small group of investors lost money on Lehman-related instruments purchased via international banks.

The Indonesian inflation rate is declining from a high of 12 percent to maybe 9 percent by January with reductions planned to between 9 percent and 7 percent for the rest of 2009. The bank rate is being stabilized at 9.5 percent after six months of consecutive rises. It will be held for a while and then reduced to 7.5 percent in 2009.

Indonesian bonds are recovering from their recent nose-dive and the stock market is stabilizing. Local economists say the stock market was over-valued and more normal values and returns will be restored as part of the local share trading cycle.

The government is now focusing on trying to mobilize its massive $115 billion dollar national budget for 2009, up from $100 billion in 2008, to push projects and overall spending forward and help substitute local demand for declines in exports, with every hope of keeping economic growth for 2009 at between 5.5 and 6.0 percent.

Despite the collapse of the Bank of Indonesia subsidiary Indover Bank in the Netherlands, there is no sovereign default. Indonesian Finance Minister Sri Mulyani Indrawati and the new central bank governor, Boediono, have taken a stand against previous mismanagement.

In contrast to the kid-glove treatment of failed bankers and financial managers in the West, who took imprudent and possibly illegal risks, the Indonesian government is directing the work of its Corruption Eradication Commission and Corruption Court against corrupt central bankers and parliamentarians who took bribes.

The Indonesian government also says it will pursue legally those who misused its name and dragged it into the Indover collapse, by implying there were sovereign guarantees backing Indover borrowing when there were none. It also intends to pursue allegations of short trading and fraudulent practices in the stock exchange.

Indonesia lost 10 years as a result of the 1998 banking crash when it put its fate in the hands of the IMF, which initially failed to understand local strengths and exaggerated local weaknesses. An historical photo shows President Suharto sitting at his desk, signing his own political death-warrant while the IMF representative stood over him, as he signed the IMF agreement.

A lot has changed between the Asian banking crash of 1998 and the Wall Street crash of 2008. The economic balance of power in the world has changed and the balance of global power has shifted to the South and East. British Prime Minister Gordon Brown recognized this when he urged the Gulf states and the G20 to help stabilize the world economy.

In the 1998 bank crash Indonesia had no freedom and no choice. This time in 2008 Indonesia has freedom and is stronger, and can chose to tread its own path. Hopefully its greater strength and determination will inspire Muslim and Southern countries not to panic in the face of recession in the West, but to work together to avoid the spread of recession to the South and to build and strengthen a new world economic order.

Terry Lacey is a development economist who writes from Jakarta, Indonesia, on modernization in the Muslim world, investment and trade relations with the European Union and Islamic banking. This article is published with permission from the author.

Skenario Politik di balik isu Century

Skenario Politik di Balik Isu Century
Zaenal A. Budiyono - Mimbar Politik



Isu bailout Bank Century yang awalnya hanyalah kasus perbankan “biasa”, kini sudah mengarah menjadi isu politik. Apalagi setelah disinyalir ada motif penumbangan kekuasaan di balik kasus ini. Awalnya isu ini mencuat setelah muncul dugaan pembekakan dana talangan (bail out) yang disuntikkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebesar Rp 6,7 trilun. Sementara itu, jumlah dana talangan yang disetujui oleh DPR hanyalah sebesar Rp. 1,3 trilyun. Selisih dari angka tersebut ditengarai oleh banyak pihak sebagai praktik penyimpangan di dalam proses penyelamatan Bank Century. Dalam perkembangannya, bola panas Century merembet hingga ke Sri Mulyani (Menkeu) dan Boediono, Wapres yang sebelumnya Gubernur BI. Keduanya dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas kasus ini. Sehingga “publik” yang diwakili media merasa berhak menuntut mereka untuk mundur secepatnya. Hanya saja, ada sesuatu yang tidak normal terkait kasus ini, dimana hampir semua media kini “satu suara”, mengarah pada penekanan terhadap Presiden SBY. Dalam iklim demokrasi, kondisi semacam ini tampaknya kurang sehat, karena seharusnya media berada di tengah, menjadi penyeimbang.

Di sisi lain publik membutuhkan lebih dari sekedar politisasi, melainkan sebuah upaya pencarian kebenaran dan keadilan setuntas-tuntasnya. Presiden dalam pidatonya merespon rekomendasi Tim Delapan belum lama ini menegaskan bahwa seeking for justice harusnya menjadi agenda utama dibandingkan dengan politisasi. Oleh karenanya isu Century harus diletakkan dalam konteks yang sesungguhnya, baik momen maupun waktu. Pada November 2008, terjadi krisis ekonomi global yang melanda hampir seluruh dunia. Memori kelam krisis moneter 1997 yang berujung krisis multidimensi seakan menunggu di depan mata. Demi menghindari terjadinya “bencana kedua”, pemerintah dan BI memutuskan mengambil kebijakan bailout Century. Tujuannya tak lain agar krisis dapat dihindari, sehingga rush tidak terjadi dan perbankan tetap aman. Dengan stabilnya perbankan nasional, maka ini akan menjamin penyelenggaran ekonomi dan menjamin rasa aman masyarakat. Bayangkan jika saat itu Century tiba-tiba ditutup, maka keresahan sosial akan terjadi. Kepanikan kolektif selanjutnya merembet menjadi aksi anarkis yang sulit dikendalikan. Faktanya, itu semua tidak terjadi. Pemerintah berhasil mengendalikan krisis global dan bobroknya Century dengan baik. Masyarakat pun hampir tidak terpengaruh oleh terganggunya Century.

Nafsu Politik

Ironisnya, media tak banyak memberi porsi terhadap “skema penyelamatan” yang sukses ini, tetapi justru terjebak pada “siapa aktor yang bermain”. Sah-sah saja media melakukan investigasi untuk mengusut kasus ini. Namun demikian, mereka juga tak boleh melepaskan diri dari konteks kebijakan saat itu, termasuk pengelolaan krisis yang sukses dilakukan. Padahal, sebagaimana kita tahu, dana LPS bukanlah “uang rakyat” yang ada di APBN. Melainkan semacam dana arisan antar bank, yang mengelola uang dari bank-bank. Uang itu digunakan, salah satunya jika ada bank yang sakit dan membuhtuhkan injeksi (bailout). Sebagaimana dikatakan Eko B Supriyanto, Direktur Biro Riret InfoBank, langkah penyelamatan yang dilakukan LPS terhadap Ban Century merupakan tindakan yang tepat. Sebab, jika menunggu akuisisi dengan pihak lain, dikhawatirkan akan memakan waktu yang lama sehingga akan menyulitkan Bank Century sendiri. Dengan demikian, tuduhan sejumlah pihak kepada Boediono dan Sri Mulyani yang dianggap melakukan pelanggaran serius layak diperdebatkan. Tak ada fakta-fakta yang menguatkan asumsi ini. Kedua pejabat itu justru telah melakukan upaya penyelamatan yang relatif sukses sehingga tak berdampak pada sektor lainnya.

Mengenai adanya kemungkinan pelanggaran dalam aliran Rp 6,7 triliun dari LPS, itulah yang harus terus diusut. Presiden SBY sendiri memerintahkan agar siapapun yang terlibat dalam penyimpangan aliran dana ini harus segera dihukum. Pihak kepolisian sendiri menyatakan, mereka telah berhasil memblokir aset Robert Tantular di luar negeri yang jumlahnya diperkirakan mencapai Rp. 11 triliun. Dana ini nantinya akan digunakan untuk membayar dana investor Antaboga Delta Sekuritas. Persoalan investor Antaboga Delta Sekuritas Indonesia ini harus dituntaskan karena merupakan tindakan kriminal. Pasalnya, modus Artaboga tak lain adalah praktek penipuan secara kasar yang dilakukan Robert Tantular, mantan pemilik sebagian besar saham Bank Century, melalui perusahaan sekuritasnya, Antaboga.

Kasus nasabah Antaboga itu statusnya tidak bisa diselesaikan lewat "bank settlement" di Bank Century, melainkan harus melalui mekanisme lain. Jadi, penyelesaian untuk investor Antaboga adalah dengan membekukan aset Robert Tantular di luar negeri dan itu sudah dilakukan, diidentifikasi, dibawa ke Indonesia, lalu dibayarkan kepada nasabah. Mereka tidak dapat meminta dananya ke Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) atau Bank Mutiara (nama Bank Century saat ini) karena LPS hanya akan menganti dana produk perbankan. Produk yang dijamin LPS hanya berupa tabungan, giro, dan deposito. Sementara itu, lanjutnya, produk yang dikeluarkan Antaboga Delta Sekuritas merupakan produk non bank (bukan produk bank). Jika LPS dipaksa untuk membayar dana investor Antaboga, maka LPS akan melanggar UU LPS. Dengan begitu, Bank Century (sekarang bernama Bank Mutiara) harus membayar dana masyarakat yang diinvestasikan ke Antaboga. Untuk itu, katanya, ke depan seharusnya investor lebih berhati-hati jika ingin menanamkan modalnya.

Di panggung politik, DPR kini sudah bulat menggolkan hak angket Century untuk mencari apa yang mereka sebut sebagai “akar permasalahan”. Terhadap hal ini, Presiden menyatakan agar semua pihak mendukung proses politik di DPR. Lebih jauh SBY mengharapkan agar Pansus nantinya dapat membuka misteri di balik Century. Beberapa poin penting yang harus dikejar DPR, pertama, sejauh mana proses pengambilan keputusan dan tindakan penyaluran dana penyertaan modal sementara kepada Bank Century yang berjumlah Rp 6,7 triliun itu dinilai tepat atau proper? Kedua, apakah ada pihak-pihak tertentu dengan kepentingannya sendiri, dan bukan kepentingan negara, meminta atau mengarahkan pihak pengambil keputusan dalam hal ini Menkeu dengan jajarannya dan BI, yang memang keduanya memiliki kewenangan untuk itu? Ketiga, apakah penyertaan modal sementara yang berjumlah Rp 6,7 triliun itu ada yang “bocor”, atau tidak sesuai dengan peruntukannya? Bahkan berkembang pula desas-desus, rumor, atau tegasnya fitnah, yang mengatakan bahwa sebagian dana itu dirancang untuk dialirkan ke dana kampanye Partai Demokrat dan Capres SBY. Ini merupakan fitnah yang sungguh kejam dan sangat menyakitkan. Keempat, sejauh mana para pengelola Bank Century yang melakukan tindakan pidana diproses secara hukum, termasuk bagaimana akhirnya dana penyertaan modal sementara dapat kembali ke negara?

Penumbangan Pemerintahan

Jika Pansus DPR nantinya konsisten mengerjakan empat hal di atas, maka besar harapan rakyat isu Century akan dapat dibongkar. Namun sejauh ini, sebagaimana dapat kita lihat, DPR terkesan lebih mementingkan politisasi isu Century dan mengabaikan substansi. Lebih dari itu, munculnya isu Century akhir-akhir ini menimbulkan kesan adanya upaya penjatuhan pemerintahan. Pasalnya, belum lama ini beredar “bocoran” pertemuan Darmawangsa di sejumlah milis dan groups di internet. Terlepas dari benar atau tidaknya bocoran tersebut, yang pasti isinya cukup mencengangkan. Dari data itu dikatakan bahwa pertemuan Darmawangsa dihadiri antara lain oleh Prabowo Subiyanto, Surya Paloh, Suryopratomo, Syafii Maarif, Din Syamsuddin, Jusuf Kalla, Yudhi Latief, Fajroel Rachman dan Ray Rangkuti. Pertemuan dimaksudkan untuk merancang suatu skenario pemakzulan atau bahkan penumbangan SBY. Isu korupsi dan pentingnya clean government menjadi “lagu bersama” yang dinyanyikan masing-masing kelompok. Mereka menyadari bahwa isu korupsi tidak akan menjangkau rakyat kecil, dan hanya menjadi konsumsi kelas menengah. Namun, berdasarkan pengalaman, jatuhnya Gus Dur, Estrada dan Thaksin—adalah buah dari pengemasan isu korupsi yang “tepat sasaran”. Kali ini mereka akan mencobanya pada SBY. Skenario pertama, melalui impeachment di MPR. Jika ini gagal—karena presiden dipilih langsung oleh rakyat—maka skenario kedua akan diambil, yaitu penjantuhan SBY dengan amuk massa.

Isu impeachment di atas sejatinya juga bukan hanya kali ini menerpa kepemimpinan SBY. Lima tahun pertama masa pemerintahannya lalu isu semacam ini juga banyak muncul. Hanya saja, masyarakat tak banyak merespon manuver para elit karena dianggap terlalu politis dan hanya mementingkan kekuasaan. Dengan kata lain, rakyat masih percaya pada SBY. Mereka juga membuat justifikasi konstitusional melalui sejumlah pasal UUD 1945. Sejauh ini, Pasal 7A Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang dijadikan sebagai landasan justifikasi upaya impeachment tersebut. Di sana dinyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum, berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden.

Namun, sesederhana itukah masalah pemakzulan presiden? Di masa lalu, aksi-aksi esktraparlementer berupa penggalangan mosi tidak percaya dan demonstrasi massa memang terasa begitu mudah berujung pada pemakzulan presiden. Akan tetapi, satu hal yang seringkali dilupakan oleh banyak pihak adalah aksi ekstraparlemeter yang berujung pada pemakzulan presiden semacam itu sesungguhnya tidak bekerja sendirian, melainkan membutuhkan kehadiran struktur politik yang mendukung. Soekarno, Soeharto, dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dapat dijatuhkan dari kursi kekuasaan karena adanya dukungan dari MPRS dan MPR selaku lembaga tertinggi negara yang memiliki kewenangan untuk memilih dan menjatuhkan presiden. Seiring dengan berkembangannya berbagai pemikiran dan keinginan untuk mengembangkan demokrasi di Indonesia, kewenangan untuk memilih dan menurunkan presiden pun dihilangkan sehingga tidak lagi melekat dalam diri MPR dewasa ini. Dengan kata lain MPR tak bisa menjatuhkan Presiden lagi—sebagaimana yang terjadi pada kasus Gus Dur.

Kita tunggu saja manuver pihak-pihak di balik isu Century ini. Benarkah mereka memperjuangkan kepentingan rakyat, atau sekedar mengincar kekuasaan? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.***