Sabtu, 01 Mei 2010

Skenario Politik di balik isu Century

Skenario Politik di Balik Isu Century
Zaenal A. Budiyono - Mimbar Politik



Isu bailout Bank Century yang awalnya hanyalah kasus perbankan “biasa”, kini sudah mengarah menjadi isu politik. Apalagi setelah disinyalir ada motif penumbangan kekuasaan di balik kasus ini. Awalnya isu ini mencuat setelah muncul dugaan pembekakan dana talangan (bail out) yang disuntikkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebesar Rp 6,7 trilun. Sementara itu, jumlah dana talangan yang disetujui oleh DPR hanyalah sebesar Rp. 1,3 trilyun. Selisih dari angka tersebut ditengarai oleh banyak pihak sebagai praktik penyimpangan di dalam proses penyelamatan Bank Century. Dalam perkembangannya, bola panas Century merembet hingga ke Sri Mulyani (Menkeu) dan Boediono, Wapres yang sebelumnya Gubernur BI. Keduanya dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas kasus ini. Sehingga “publik” yang diwakili media merasa berhak menuntut mereka untuk mundur secepatnya. Hanya saja, ada sesuatu yang tidak normal terkait kasus ini, dimana hampir semua media kini “satu suara”, mengarah pada penekanan terhadap Presiden SBY. Dalam iklim demokrasi, kondisi semacam ini tampaknya kurang sehat, karena seharusnya media berada di tengah, menjadi penyeimbang.

Di sisi lain publik membutuhkan lebih dari sekedar politisasi, melainkan sebuah upaya pencarian kebenaran dan keadilan setuntas-tuntasnya. Presiden dalam pidatonya merespon rekomendasi Tim Delapan belum lama ini menegaskan bahwa seeking for justice harusnya menjadi agenda utama dibandingkan dengan politisasi. Oleh karenanya isu Century harus diletakkan dalam konteks yang sesungguhnya, baik momen maupun waktu. Pada November 2008, terjadi krisis ekonomi global yang melanda hampir seluruh dunia. Memori kelam krisis moneter 1997 yang berujung krisis multidimensi seakan menunggu di depan mata. Demi menghindari terjadinya “bencana kedua”, pemerintah dan BI memutuskan mengambil kebijakan bailout Century. Tujuannya tak lain agar krisis dapat dihindari, sehingga rush tidak terjadi dan perbankan tetap aman. Dengan stabilnya perbankan nasional, maka ini akan menjamin penyelenggaran ekonomi dan menjamin rasa aman masyarakat. Bayangkan jika saat itu Century tiba-tiba ditutup, maka keresahan sosial akan terjadi. Kepanikan kolektif selanjutnya merembet menjadi aksi anarkis yang sulit dikendalikan. Faktanya, itu semua tidak terjadi. Pemerintah berhasil mengendalikan krisis global dan bobroknya Century dengan baik. Masyarakat pun hampir tidak terpengaruh oleh terganggunya Century.

Nafsu Politik

Ironisnya, media tak banyak memberi porsi terhadap “skema penyelamatan” yang sukses ini, tetapi justru terjebak pada “siapa aktor yang bermain”. Sah-sah saja media melakukan investigasi untuk mengusut kasus ini. Namun demikian, mereka juga tak boleh melepaskan diri dari konteks kebijakan saat itu, termasuk pengelolaan krisis yang sukses dilakukan. Padahal, sebagaimana kita tahu, dana LPS bukanlah “uang rakyat” yang ada di APBN. Melainkan semacam dana arisan antar bank, yang mengelola uang dari bank-bank. Uang itu digunakan, salah satunya jika ada bank yang sakit dan membuhtuhkan injeksi (bailout). Sebagaimana dikatakan Eko B Supriyanto, Direktur Biro Riret InfoBank, langkah penyelamatan yang dilakukan LPS terhadap Ban Century merupakan tindakan yang tepat. Sebab, jika menunggu akuisisi dengan pihak lain, dikhawatirkan akan memakan waktu yang lama sehingga akan menyulitkan Bank Century sendiri. Dengan demikian, tuduhan sejumlah pihak kepada Boediono dan Sri Mulyani yang dianggap melakukan pelanggaran serius layak diperdebatkan. Tak ada fakta-fakta yang menguatkan asumsi ini. Kedua pejabat itu justru telah melakukan upaya penyelamatan yang relatif sukses sehingga tak berdampak pada sektor lainnya.

Mengenai adanya kemungkinan pelanggaran dalam aliran Rp 6,7 triliun dari LPS, itulah yang harus terus diusut. Presiden SBY sendiri memerintahkan agar siapapun yang terlibat dalam penyimpangan aliran dana ini harus segera dihukum. Pihak kepolisian sendiri menyatakan, mereka telah berhasil memblokir aset Robert Tantular di luar negeri yang jumlahnya diperkirakan mencapai Rp. 11 triliun. Dana ini nantinya akan digunakan untuk membayar dana investor Antaboga Delta Sekuritas. Persoalan investor Antaboga Delta Sekuritas Indonesia ini harus dituntaskan karena merupakan tindakan kriminal. Pasalnya, modus Artaboga tak lain adalah praktek penipuan secara kasar yang dilakukan Robert Tantular, mantan pemilik sebagian besar saham Bank Century, melalui perusahaan sekuritasnya, Antaboga.

Kasus nasabah Antaboga itu statusnya tidak bisa diselesaikan lewat "bank settlement" di Bank Century, melainkan harus melalui mekanisme lain. Jadi, penyelesaian untuk investor Antaboga adalah dengan membekukan aset Robert Tantular di luar negeri dan itu sudah dilakukan, diidentifikasi, dibawa ke Indonesia, lalu dibayarkan kepada nasabah. Mereka tidak dapat meminta dananya ke Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) atau Bank Mutiara (nama Bank Century saat ini) karena LPS hanya akan menganti dana produk perbankan. Produk yang dijamin LPS hanya berupa tabungan, giro, dan deposito. Sementara itu, lanjutnya, produk yang dikeluarkan Antaboga Delta Sekuritas merupakan produk non bank (bukan produk bank). Jika LPS dipaksa untuk membayar dana investor Antaboga, maka LPS akan melanggar UU LPS. Dengan begitu, Bank Century (sekarang bernama Bank Mutiara) harus membayar dana masyarakat yang diinvestasikan ke Antaboga. Untuk itu, katanya, ke depan seharusnya investor lebih berhati-hati jika ingin menanamkan modalnya.

Di panggung politik, DPR kini sudah bulat menggolkan hak angket Century untuk mencari apa yang mereka sebut sebagai “akar permasalahan”. Terhadap hal ini, Presiden menyatakan agar semua pihak mendukung proses politik di DPR. Lebih jauh SBY mengharapkan agar Pansus nantinya dapat membuka misteri di balik Century. Beberapa poin penting yang harus dikejar DPR, pertama, sejauh mana proses pengambilan keputusan dan tindakan penyaluran dana penyertaan modal sementara kepada Bank Century yang berjumlah Rp 6,7 triliun itu dinilai tepat atau proper? Kedua, apakah ada pihak-pihak tertentu dengan kepentingannya sendiri, dan bukan kepentingan negara, meminta atau mengarahkan pihak pengambil keputusan dalam hal ini Menkeu dengan jajarannya dan BI, yang memang keduanya memiliki kewenangan untuk itu? Ketiga, apakah penyertaan modal sementara yang berjumlah Rp 6,7 triliun itu ada yang “bocor”, atau tidak sesuai dengan peruntukannya? Bahkan berkembang pula desas-desus, rumor, atau tegasnya fitnah, yang mengatakan bahwa sebagian dana itu dirancang untuk dialirkan ke dana kampanye Partai Demokrat dan Capres SBY. Ini merupakan fitnah yang sungguh kejam dan sangat menyakitkan. Keempat, sejauh mana para pengelola Bank Century yang melakukan tindakan pidana diproses secara hukum, termasuk bagaimana akhirnya dana penyertaan modal sementara dapat kembali ke negara?

Penumbangan Pemerintahan

Jika Pansus DPR nantinya konsisten mengerjakan empat hal di atas, maka besar harapan rakyat isu Century akan dapat dibongkar. Namun sejauh ini, sebagaimana dapat kita lihat, DPR terkesan lebih mementingkan politisasi isu Century dan mengabaikan substansi. Lebih dari itu, munculnya isu Century akhir-akhir ini menimbulkan kesan adanya upaya penjatuhan pemerintahan. Pasalnya, belum lama ini beredar “bocoran” pertemuan Darmawangsa di sejumlah milis dan groups di internet. Terlepas dari benar atau tidaknya bocoran tersebut, yang pasti isinya cukup mencengangkan. Dari data itu dikatakan bahwa pertemuan Darmawangsa dihadiri antara lain oleh Prabowo Subiyanto, Surya Paloh, Suryopratomo, Syafii Maarif, Din Syamsuddin, Jusuf Kalla, Yudhi Latief, Fajroel Rachman dan Ray Rangkuti. Pertemuan dimaksudkan untuk merancang suatu skenario pemakzulan atau bahkan penumbangan SBY. Isu korupsi dan pentingnya clean government menjadi “lagu bersama” yang dinyanyikan masing-masing kelompok. Mereka menyadari bahwa isu korupsi tidak akan menjangkau rakyat kecil, dan hanya menjadi konsumsi kelas menengah. Namun, berdasarkan pengalaman, jatuhnya Gus Dur, Estrada dan Thaksin—adalah buah dari pengemasan isu korupsi yang “tepat sasaran”. Kali ini mereka akan mencobanya pada SBY. Skenario pertama, melalui impeachment di MPR. Jika ini gagal—karena presiden dipilih langsung oleh rakyat—maka skenario kedua akan diambil, yaitu penjantuhan SBY dengan amuk massa.

Isu impeachment di atas sejatinya juga bukan hanya kali ini menerpa kepemimpinan SBY. Lima tahun pertama masa pemerintahannya lalu isu semacam ini juga banyak muncul. Hanya saja, masyarakat tak banyak merespon manuver para elit karena dianggap terlalu politis dan hanya mementingkan kekuasaan. Dengan kata lain, rakyat masih percaya pada SBY. Mereka juga membuat justifikasi konstitusional melalui sejumlah pasal UUD 1945. Sejauh ini, Pasal 7A Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang dijadikan sebagai landasan justifikasi upaya impeachment tersebut. Di sana dinyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum, berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden.

Namun, sesederhana itukah masalah pemakzulan presiden? Di masa lalu, aksi-aksi esktraparlementer berupa penggalangan mosi tidak percaya dan demonstrasi massa memang terasa begitu mudah berujung pada pemakzulan presiden. Akan tetapi, satu hal yang seringkali dilupakan oleh banyak pihak adalah aksi ekstraparlemeter yang berujung pada pemakzulan presiden semacam itu sesungguhnya tidak bekerja sendirian, melainkan membutuhkan kehadiran struktur politik yang mendukung. Soekarno, Soeharto, dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dapat dijatuhkan dari kursi kekuasaan karena adanya dukungan dari MPRS dan MPR selaku lembaga tertinggi negara yang memiliki kewenangan untuk memilih dan menjatuhkan presiden. Seiring dengan berkembangannya berbagai pemikiran dan keinginan untuk mengembangkan demokrasi di Indonesia, kewenangan untuk memilih dan menurunkan presiden pun dihilangkan sehingga tidak lagi melekat dalam diri MPR dewasa ini. Dengan kata lain MPR tak bisa menjatuhkan Presiden lagi—sebagaimana yang terjadi pada kasus Gus Dur.

Kita tunggu saja manuver pihak-pihak di balik isu Century ini. Benarkah mereka memperjuangkan kepentingan rakyat, atau sekedar mengincar kekuasaan? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar