Selasa, 11 Mei 2010

Anggaran Pendidikan

AKARTA--MI: Pemerintah merencanakan anggaran pendidikan dalam APBN 2010 mencapai Rp195,6 triliun. Pagu indikatif anggaran 2010 tersebut terdiri atas komponen anggaran pendidikan melalui pemerintah pusat Rp82,5 triliun dan transfer ke daerah sebanyak Rp113,1 triliun, kata Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo, di Jakarta, Rabu (24/6).

Menurut Mendiknas, dari rencana anggaran pendidikan tersebut sekitar 54 persen lebih atau sekitar Rp113,109 triliun diperuntukkan pendukung program wajib belajar sembilan tahun secara gratis. "Rencana anggaran pendidikan 2010 itu mengalami penyusutan dibanding 2009 sebanyak Rp207,4 triliun," katanya.

Dana anggaran melalui transfer daerah, antara lain terbesar dana alokasi umum (DAU) pendidikan untuk membayar gaji guru mencapai Rp93,31 triliun, dana alokasi khusus Rp9,33 triliun, dan dana bagi hasil (DBH) mencapai Rp423,2 miliar.

Anggaran tambahan DAU dan dana otonomi khusus pendidikan masing-masing sebesar Rp7,94 triliun dan Rp2,1 triliun. Dana untuk Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mencapai 57,5 triliun dan Departemen Agama Rp22 triliun. (Ant/OL-04)

Guru (Oemar Bakri, Orang tua dan Lingkungan ku)

Guru (Oemar Bakri, Orang tua dan Lingkungan ku) - Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

Guru adalah profesi yang mulia dan tidak mudah dilaksanakan serta memiliki posisi yang sangat luhur di masyarakat. Semua orang pasti akan membenarkan pernyataan ini jika mengerti sejauh mana peran dan tanggung jawab seorang guru . Sejak saya baru berusia 6 tahun hingga dewasa, orang tua saya yang merupakan seorang guru, selalu memberikan instruksi yang mengingatkan kami para anak-anaknya adalah anak seorang guru yang harus selalu menjaga tingkah laku agar selalu baik dan jangan sampai melakukan sebuah kesalahan . Seberat itukah, seharus itukah kami bertindak Lantas apa hubungan profesi orang tua dengan dengan anak-anaknya apakah hanya anak seorang guru yang harus demikian ?.

Sebenarnya menjaga sikap dan tindak tanduk positif itu tidak hanya tanggung jawab para guru dan keluarganya, tetapi semua orang, Guru yang selalu mengusahankan keluarganya menjadi garda terdepan dalam memberikan pendidikan dengan sebuah contoh, adalah cerminan komitmen dan pendalaman makna dari seorang guru. Sang guru harus berusaha agar keluarganya baik dan tidak korupsi agar ia dapat mengajari kepada murid-muridnya baik dan tidak korupsi, berusaha tidak berbohong agar murid-muridnya tidak menjadi pendusta.

Peran guru tidak hanya sebatas tugas yang harus dilaksanakan di depan kelas saja, tetapi seluruh hidupnya memang harus di dedikasikan untuk pendidikan. Tidak hanya menyampaikan teori-teori akademis saja tetapi suri tauladan yang digambarkan dengan perilaku seorang guru dalam kehidupan sehari hari.

Terkesannya seorang Guru adalah sosok orang sempurna yang di tuntut tidak melakukan kesalahan sedikitpun, sedikit saja sang guru salah dalam bertutur kata itu akan tertanam sangat mendalam dalam sanubari si anak. Jika sang guru mempunyai kebiasaan buruk dan itu di ketahui oleh sang murid, tidak ayal jika itu akan dijadikan referensi bagi si murid tentang pembenaran kesalahan yang sedang ia lakukan.

Sepertinya filosofi sang guru ini layak untuk di jadikan filosofi hidup, karena hampir setiap orang akan menjadi seorang ayah dan ibu yang notabenenya merupakan guru yang terdekat bagi anak-anak penerus bangsa ini .
Akan sulit bagi seorang ayah untuk melarang anaknya untuk tidak merokok jika seorang ayahnya adalah perokok. Akan sulit bagi seoang ibu untuk mengajari anak-anak untuk selalu jujur, jika dirumah sang ibu selalu berdusta kepada ayah dan lingkungannya, atau sebaliknya.

Suatu siang saya agak miris melihat seorang anak SMP sedang asik mengisap sebatang rokok bersama adik kelasnya yang masih di SD, itu terlihat dari seragam yang dikenakan dan usianya memang terbilang masih anak-anak. Siapa yang harus disalahkan dalam kasus ini. Apakah sianak, sepertinya tidak adil kalau kita hanya menyahkan si anak saja, anak itu terlahir bagaikan selembar kertas yang masih putih, mau jadi seperti apa kelak di hari tuanya tergantung dengan tinta dan menulis apa pada selembar kertas putih itu . Orang pertama yang patut disalahkan mungkin adalah guru, baik guru yang ada di rumah ( orang tua ), di sekolah ( guru), atau pun lingkungannya.

Peran orang tua yang bertanggung jawab terhadap keselamatan anaknya tentunya tidak membiarkan anaknya terlena dengan fasilitas-fasilitas yang dapat menenggelamkan si anak, kontrol yang baik dengan selalu memberikan pendidikan moral dan agama yang baik diharapkan akan dapat membimbing si anak ke jalan yang benar, bagaimana orang tua dapat mendidik anaknya menjadi anak yang sholeh sedangkan orang tuanya jarang menjalankan sesuatu yang mencerminkan kesholehan, kemasjid misalnya.

Tidak mudah memang untuk menjadi seorang guru. Menjadi guru diharapkan tidak hanya didasari oleh gaji guru yang akan dinaikkan, bukan merupakan pilihan terakhir setelah tidak dapat berprofesi di bidang yang lain, tidak juga karena peluang. Selayaknya cita-cita untuk menjadi guru didasari oleh sebuah idealisme yang luhur, untuk menciptakan generasi penerus yang berkualitas.

Sebaiknya Guru tidak hanya dipandang sebagai profesi saja, tetapi adalah bagian hidup dan idealisme seorang guru memang harus dijunjung setinggi-tingginya. Idealisme itu seharusnya tidak tergantikan oleh apapun termasuk uang. Namun guru adalah manusia, sekuat-kuatnya manusia bertahan dia tetaplah manusia, jika terpaan cobaan itu terlalu kuat manusia juga dapat melakukan kesalahan.

Akhir akhir ini ada berita di media masa yang sangat meruntuhkan citra sang guru adalah berita tentang pencabulan terhadap anak didiknya. Kalau pepatah mengatakan guru kencing bediri murid kencing berlari itu benar, berarti satu orang guru melakukan itu berapa orang murid yang lebih parah dari itu.

Gejala-gejala ini telah menunjukan kebenarannya. Kita ambil saja kasus siswa mesum di taman sari, bukit dealova, dan Ayam kampus yang mulai marak di tambahlagi foto-foto syrur anak SMP jebus, ini menunjukkan bahwa pepatah itu menujukkan kebenarannya.

Kerja team yang terdiri dari orang tua ( sebagai guru dirumah), Guru di sekolah, dan Lingkungan ( sebagai Guru saat anak-anak bermain) harus di bentuk. diawali dengan komunikasi yang baik antara orang tua dan guru di sekolah, pertemuan yang intensif antara keduanya akan saling memberikan informasi yang sangat mendukung bagi pendidikan si anak. Peran Lingkungan pun harus lebih peduli, dengan menganggap anak-anak yang ada dilingkungannya adalah tanggung jawab bersama, tentunya lingkungan pun akan dapat memberikan informasi yang benar kepada orang tua tentang tindak tanduk si anak dan kemudian dapat digunakan untuk mengevaluasi perkembangannya.

Terlihat betapa peran orang tua sangat memegang peranan penting, setelah semua informasi tentang pertumbuhan anakya di dapat, orang tuapun harus pandai mengelola informasi itu dengan benar.

Terlepas dari baik buruknya seorang guru nampaknya filosofi seorang guru dapat dijadikan pegangan bagi kita semua terutama bagi para orang tua, mari kita bersama-sama untuk menjadi guru bagi anak anak kita yang selalu memberi contoh kebenaran dan memberi dorongan untuk berbuat kebenaran. Sang guru bagi anak adalah Orang tua, guru sekolah dan lingkungan tempat ia di besarkan. Seandainya sang guru dapat memberi teladan yang baik mudah-mudahan anak-anak kita akan ada di jalan yang benar, semoga.

MAsalah Pendidikan Di Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).

Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.

Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Perasan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar.

Salah satunya adalah memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan negara lain.

Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain.

Setelah kita amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya menusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang.

Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).

Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun permasalahan khusus dalam dunia pendidikan yaitu:

(1). Rendahnya sarana fisik,

(2). Rendahnya kualitas guru,

(3). Rendahnya kesejahteraan guru,

(4). Rendahnya prestasi siswa,

(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,

(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,

(7). Mahalnya biaya pendidikan.

Permasalahan-permasalahan yang tersebut di atas akan menjadi bahan bahasan dalam makalah yang berjudul “ Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia” ini.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana ciri-ciri pendidikan di Indonesia?

2. Bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia?

3. Apa saja yang menjadi penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia?

4. Bagaimana solusi yang dapat diberikan dari permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan

1. Mendeskripsikan ciri-ciri pendidikan di Indonesia.

2. Mendeskripsikan kualitas pendidikan di Indonesia saat ini.

3. Mendeskripsikan hal-hal yang menjadi penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.

4. Mendeskripsikan solusi yang dapat diberikan dari permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia.

D. Manfaat Penulisan

1. Bagi Pemerintah

Bisa dijadikan sebagai sumbangsih dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

2. Bagi Guru

Bisa dijadikan sebagai acuan dalam mengajar agar para peserta didiknya dapat berprestasi lebih baik dimasa yang akan datang.

3. Bagi Mahasiswa

Bisa dijadikan sebagai bahan kajian belajar dalam rangka meningkatkan prestasi diri pada khususnya dan meningkatkan kualitas pendidikan pada umumnya.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Ciri-ciri Pendidikan di Indonesia

Cara melaksanakan pendidikan di Indonesia sudah tentu tidak terlepas dari tujuan pendidikan di Indonesia, sebab pendidikan Indonesia yang dimaksud di sini ialah pendidikan yang dilakukan di bumi Indonesia untuk kepentingan bangsa Indonesia.

Aspek ketuhanan sudah dikembangkan dengan banyak cara seperti melalui pendidikan-pendidikan agama di sekolah maupun di perguruan tinggi, melalui ceramah-ceramah agama di masyarakat, melalui kehidupan beragama di asrama-asrama, lewat mimbar-mimbar agama dan ketuhanan di televisi, melalui radio, surat kabar dan sebagainya. Bahan-bahan yang diserap melalui media itu akan berintegrasi dalam rohani para siswa/mahasiswa.

Pengembangan pikiran sebagian besar dilakukan di sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi melalui bidang studi-bidang studi yang mereka pelajari. Pikiran para siswa/mahasiswa diasah melalui pemecahan soal-soal, pemecahan berbagai masalah, menganalisis sesuatu serta menyimpulkannya.

B. Kualitas Pendidikan di Indonesia

Seperti yang telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang, guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun.

Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan di Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah terbelakang. Namun, bagi penduduk di daerah terbelakang tersebut, yang terpenting adalah ilmu terapan yang benar-benar dipakai buat hidup dan kerja. Ada banyak masalah yang menyebabkan mereka tidak belajar secara normal seperti kebanyakan siswa pada umumnya, antara lain guru dan sekolah.

“Pendidikan ini menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono usai rapat kabinet terbatas di Gedung Depdiknas, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin (12/3/2007).

Presiden memaparkan beberapa langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, antara lain yaitu:

· Langkah pertama yang akan dilakukan pemerintah, yakni meningkatkan akses terhadap masyarakat untuk bisa menikmati pendidikan di Indonesia. Tolak ukurnya dari angka partisipasi.

· Langkah kedua, menghilangkan ketidakmerataan dalam akses pendidikan, seperti ketidakmerataan di desa dan kota, serta jender.

· Langkah ketiga, meningkatkan mutu pendidikan dengan meningkatkan kualifikasi guru dan dosen, serta meningkatkan nilai rata-rata kelulusan dalam ujian nasional.

· Langkah keempat, pemerintah akan menambah jumlah jenis pendidikan di bidang kompetensi atau profesi sekolah kejuruan. Untuk menyiapkan tenaga siap pakai yang dibutuhkan.

· Langkah kelima, pemerintah berencana membangun infrastruktur seperti menambah jumlah komputer dan perpustakaan di sekolah-sekolah.

· Langkah keenam, pemerintah juga meningkatkan anggaran pendidikan. Untuk tahun ini dianggarkan Rp 44 triliun.

· Langkah ketujuh, adalah penggunaan teknologi informasi dalam aplikasi pendidikan.

· Langkah terakhir, pembiayaan bagi masyarakat miskin untuk bisa menikmati fasilitas penddikan.

C. Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia

Di bawah ini akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia secara umum, yaitu:

1. Efektifitas Pendidikan Di Indonesia

Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.

Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan melakukan penelitian dan survey ke lapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelm kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan. Jelas hal ini merupakan masalah terpenting jika kita menginginkan efektifitas pengajaran. Bagaimana mungkin tujuan akan tercapai jika kita tidak tahu apa tujuan kita.

Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunyai kelebihan dibidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.

Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan dibidang sosial dan dipaksa mengikuti program studi IPA akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan sayangnya masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas pendidikan di Indonesia.

2. Efisiensi Pengajaran Di Indonesia

Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.

Beberapa masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.

Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia umum bagi kita. Sebenarnya harga pendidikan di Indonesia relative lebih randah jika kita bandingkan dengan Negara lain yang tidak mengambil sitem free cost education. Namun mengapa kita menganggap pendidikan di Indonesia cukup mahal? Hal itu tidak kami kemukakan di sini jika penghasilan rakyat Indonesia cukup tinggi dan sepadan untuk biaya pendidiakan.

Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara tenang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, namun kita juga berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, nemun peserta didik tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain sebagainya yang ketika kami survey, hal itu diwajibkan oleh pendidik yang berssngkutan. Yang mengejutkanya lagi, ada pendidik yang mewajibkan les kepada peserta didiknya, yang tentu dengan bayaran untuk pendidik tersebut.

Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah waktu pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kita lihat bahwa pendidikan tatap muka di Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan negara lain. Dalam pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00.. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena ketika kami amati lagi, peserta didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga, karena peserta didik akhirnya mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang dinilai kurang.

Selain itu, masalah lain efisiensi pengajaran yang akan kami bahas adalah mutu pengajar. Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menyebabkan peserta didik kurang mencapai hasil yang diharapkan dan akhirnya mengambil pendidikan tambahan yang juga membutuhkan uang lebih.

Yang kami lihat, kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar pendidikan di bidang bahasa, namun di mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya bukan kompetensinya. Hal-tersebut benar-benar terjadi jika kita melihat kondisi pendidikan di lapangan yang sebanarnya. Hal lain adalah pendidik tidak dapat mengomunikasikan bahan pengajaran dengan baik, sehingga mudah dimengerti dan menbuat tertarik peserta didik.

Sistem pendidikan yang baik juga berperan penting dalam meningkatkan efisiensi pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan juga sistem pendidikan kita berubah-ubah sehingga membingungkan pendidik dan peserta didik.

Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem pendidikan kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi yang pengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga kurikulum baru lainnya. Ketika mengganti kurikulum, kita juga mengganti cara pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi pelatihan terlebih dahulu yang juga menambah cost biaya pendidikan. Sehingga amat disayangkan jika terlalu sering mengganti kurikulum yang dianggap kuaran efektif lalu langsung menggantinya dengan kurikulum yang dinilai lebih efektif.

Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat dihasilkan secara optimal dengan hanya masukan yang relative tetap, atau jika masukan yang sekecil mungkin dapat menghasilkan keluaran yang optimal. Konsep efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi teknologis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan dalam pencapaian kuantitas keluaran secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang sudah ditetapkan. Sementara efisiensi ekonomis tercipta jika ukuran nilai kepuasan atau harga sudah diterapkan terhadap keluaran.

Konsep efisiensi selalu dikaitkan dengan efektivitas. Efektivitas merupakan bagian dari konsep efisiensi karena tingkat efektivitas berkaitan erat dengan pencapaian tujuan relative terhadap harganya. Apabila dikaitkan dengan dunia pendidikan, maka suatu program pendidikan yang efisien cenderung ditandai dengan pola penyebaran dan pendayagunaansumber-sumber pendidikan yang sudah ditata secara efisien. Program pendidikan yang efisien adalah program yang mampu menciptakan keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan akan sumber-sumber pendidikan sehingga upaya pencapaian tujuan tidak mengalami hambatan.

3. Standardisasi Pendidikan Di Indonesia

Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil.

Dunia pendidikan terus berudah. Kompetensi yang dibutuhka oleh masyarakat terus-menertus berunah apalagi di dalam dunia terbuka yaitu di dalam dunia modern dalam ere globalisasi. Kompetendi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang dalam lembaga pendidikan haruslah memenuhi standar.

Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).

Tinjauan terhadap standardisasi dan kompetensi untuk meningkatkan mutu pendidikan akhirnya membawa kami dalam pengunkapan adanya bahaya yang tersembunyi yaitu kemungkinan adanya pendidikan yang terkekung oleh standar kompetensi saja sehngga kehilangan makna dan tujuan pendidikan tersebut.

Peserta didik Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaiman agar mencapai standar pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpentinga adalah memenuhi nilai di atas standar saja.

Hal seperti di atas sangat disayangkan karena berarti pendidikan seperti kehilangan makna saja karena terlalu menuntun standar kompetensi. Hal itu jelas salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.

Selain itu, akan lebih baik jika kita mempertanyakan kembali apakah standar pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi kontrofesi misalnya. Kami menilai adanya sistem evaluasi seperti UAN sudah cukup baik, namun yang kami sayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus tidaknya peserta didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalu peserta didik yang telah menenpuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlanhsug sekali, evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi lain yang telah didikuti oleh peserta didik.

Banyak hal lain juga yang sebenarnya dapat kami bahas dalam pembahasan sandardisasi pengajaran di Indonesia. Juga permasalahan yang ada di dalamnya, yang tentu lebih banyak, dan membutuhkan penelitian yang lebih dalam lagi

Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidah hanya sebatas yang kami bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi.

Selain beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di atas, berikut ini akan dipaparkan pula secara khusus beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.

1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik

Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.

Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.

2. Rendahnya Kualitas Guru

Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.

Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).

Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).

Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.

3. Rendahnya Kesejahteraan Guru

Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).

Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.

Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).

4. Rendahnya Prestasi Siswa

Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.

Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.

Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).

Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.

Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.

5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan

Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.


6. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan

Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.

7. Mahalnya Biaya Pendidikan

Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.

Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.

Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.

Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.

Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.

Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).

Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.

Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.

Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.

Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.

D. Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia

Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan yaitu:

Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.

Maka, solusi untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan –seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.

Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.

Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kualitas pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila di bandingkan dengan kualitas pendidikan di negara-negara lain. Hal-hal yang menjadi penyebab utamanya yaitu efektifitas, efisiensi, dan standardisasi pendidikan yang masih kurang dioptimalkan. Masalah-masalah lainya yang menjadi penyebabnya yaitu:

(1). Rendahnya sarana fisik,

(2). Rendahnya kualitas guru,

(3). Rendahnya kesejahteraan guru,

(4). Rendahnya prestasi siswa,

(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,

(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,

(7). Mahalnya biaya pendidikan.

Adapun solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, dan meningkatkan kualitas guru serta prestasi siswa.

B. Saran

Perkembangan dunia di era globalisasi ini memang banyak menuntut perubahan kesistem pendidikan nasional yang lebih baik serta mampu bersaing secara sehat dalam segala bidang. Salah satu cara yang harus di lakukan bangsa Indonesia agar tidak semakin ketinggalan dengan negara-negara lain adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikannya terlebih dahulu.

Dengan meningkatnya kualitas pendidikan berarti sumber daya manusia yang terlahir akan semakin baik mutunya dan akan mampu membawa bangsa ini bersaing secara sehat dalam segala bidang di dunia internasional.

DAFTAR PUSTAKA

http://forum.detik.com.

http://tyaeducationjournals.blogspot.com/2008/04/efektivitas-dan-efisiensi-anggaran.

http://www.detiknews.com.

http://www.sib-bangkok.org.

Pidarta, Prof. Dr. Made. 2004. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakart

APBN Negara

ngka APBN Untuk Pertama kalinya di Atas Rp1.000 Triliun Print
15-08-2008
Untuk pertama kalinya pendapatan negara yang tercantum dalam APBN sejak Indonesia merdeka akan melampaui angka Rp1.000 trliun, karena pemerintah merencanakan RAPBN Tahun Anggaran 2009 akan mencapai angka Rp1.022,6 triliun, yang mencerminkan kenaikan Rp127,6 triliun atau naik sebesar 14,3 persen jika dibandingkan dengan APBN 2008.

"Dengan besaran RAPBN tahun 2009 seperti itu, maka untuk pertama kalinya sejak Indonesia merdeka, pendapatan negara dan belanja negara dapat mencapai angka di atas Rp1.000 triliun," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam pidato kenegaraannya saat menyampaikan RUU-APBN 2009 yang disertai Nota Keuangan dalam Rapat Paripurna DPR di kompleks MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Jumat.

Angka pendapatan negara dalam RAPBN 2009 yang mencapai Rp1.022 triliun juga jauh meningkat jika dibandingkan dengan APBN 2005 yang berada pada kisaran Rp500 triliun.

Dalam kesempatan itu, Presiden Yudhoyono mengemukakan pula bahwa belanja negara tahun mendatang diperkirakan Rp1.1222 triliun, sehingga defisitnya mencapai Rp99,6 trliun.

Harga minyak

Angka-angka penting lainnya yang dikemukakan Kepala Negara, antara lain adalah harga patokan penerimaan dari minyak mentah adalah 100 dolar AS per barel.

"Pemerintah mengusulkan asumsi tingkat harga minyak mentah Indonesia untuk tahun 2009 adalah sebesar 100 dolar AS per barel. Harga ini masih dalam cakupan harga yang disepakati DPR, yakni antara 95-120 dolar AS per barel," kata Kepala Negara.

Dia juga menyebutkan risiko harga minyak mentah di pasar internasional diperkirakan bisa mencapai 130 dolar AS per barel. Angka penting bagi produksi minyak yang dicantumkan dalam pidato ini adalah lifting yang diharapkan mencapai 950.000 barel per hari.

Sementara itu, ketika menyinggung masalah moneter dan keuangan, Presiden menyebutkan pertumbuhan ekonomi tahun mendatang diperkirakan adalah 6,2 persen, kemudian tingkat inflasi 6,5 persen, nilai tukar rata-rata rupiah adalah Rp9.100 per dolar AS, serta Sertifikat Bank Indonesia atau SBI tiga bulan rata-ratanya 8,5 persen.

Dia mengemukakan pula bahwa dari total belanja pemerintah pusat Rp1.122 triliun itu, maka 36 persen di antaranya atau Rp312,6 triliun akan dialokasikan untuk belanja kementerian negara atau lembaga. Anggaran tersebut belum termasuk anggaran pendidikan nasional untuk memenuhi amanat UUD 1945 sebesar Rp46,1 triliun yang diusulkan pemerintah dalam Nota Keuangan Tambahan .

Khusus mengenai subsidi BBM, pemerintah merencanakan alokasi Rp101,4 triliun, kemudian subsidi listrik Rp60,4 triliun, serta subsidi pangan, pupuk dan benih Rp32 triliun.

"Pemerintah bertekad untuk menjaga stabilitas perekonomian melalui pengendalian harga BBM dan tarif dasar listrik," kata Yudhoyono.

Kepala Negara mengingatkan bahwa subsidi tidak boleh salah sasaran, serta mengevaluasi anggaran subsidi berdasarkan perkembangan harga minyak di pasaran dunia.


Anggaran departemen/lembaga

Ketika menjelaskan anggaran untuk departemen/lembaga, antara lain disebutkan bahwa Departemen Pendidikan Nasional akan mendapat anggaran Rp52 triliun, namun angka ini belum mencakup tambahan anggaran pendidikan sebesar Rp46,1 triliun yang diusulkan pada Nota Keuangan Tambahan.

Kemudian, Departemen Pekerjaan Umum mendapat Rp35,7 triliun, Departemen Pertahanan Rp35 triliun, serta Polri Rp25,7 triliun.

"Departemen Agama Rp20,7 triliun, Departemen Kesehatan Rp19,3 triliun dan Departemen Perhubungan Rp16,1 triliun," kata SBY.

Ditegaskannya, anggaran yang besar bagi Depdiknas dan Depag adalah dalam rangka menuntaskan program Wajib Belajar Sembilan tahun. Anggaran ini juga ditujukan untuk menaikkan kesejahteraan guru secara signifikan, kata Presiden. (*)

Jakarta (ANTARA News)

Kontroversi Masalah Pendidikan dan UN

Kontroversi Masalah Pendidikan dan UN

Menyimak problematik menyangkut pendidikan nasional khususnya ujian nasional tampaknya seperti tanpa berujung pangkal. Dalam mencari solusi jangka panjang seyogianya dikembalikan kepada konstitusi dan perundangan yang berlaku.

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dan Pasal 31 Ayat 3 mengarahkan untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia.

Agar tujuan dan sasaran lebih jelas, maka UU No 20/ 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menetapkan antara lain pendidikan nasional ditujukan agar peserta didik dapat mengembangkan potensi dirinya secara aktif untuk memiliki kekuatan spiritual keamanan, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia, kecerdasan, dan keterampilan.

Apa yang digariskan tersebut di atas sangat jelas bahwa pendidikan bukan hanya menjadikan peserta didik pandai dari segi akademik, tetapi untuk menjadikan manusia yang utuh yang mampu menjadi manusia yang mengabdi kepada Sang Maha Pencipta, menjadi manusia demi manusia yang lain dan alam semesta.

Pendidikan yang hanya menciptakan kemampuan intelektual tanpa membangkitkan hati nurani akan menghasilkan manusia yang rapuh dan jiwa yang hampa dalam menghadapi tantangan kehidupan nyata. Pendidikan yang diharapkan harus memiliki "ruh" yang mengembangkan nilai-nilai bijak, dan mengarahkan pada kecerdasan intelektual/akademik atau Intelegence Quotient (IQ), kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (IQ), dan kecerdasan spiritual atau Spiritual Quetient (SQ).

EQ dan SQ sangat berperan dalam menunjang keberhasilan seseorang dalam perjuangan hidupnya. Kearifan untuk mengendalikan emosi justru akan menunjang bekerjanya nalar dan intelektual. EQ akan membangun motivasi, empati, kemampuan untuk memahami diri sendiri dan orang lain, sifat simpatik, solidaritas, dan intraksi sosial yang tinggi. Sementara SQ akan membimbing suara hati yang jernih yang mengarahkan kepada al napsu al matmainah, berani menghadapi hidup dengan optimisme, kreatif, fleksibel, dan visioner, serta memberikan kekuatan moral, memberikan kepastian jawaban tentang sesuatu yang baik dan yang buruk, dan bertanggung jawab hidup dan lingkungannya. Kesemuanya itu akan mewujudkan kemampuan mengubah hambatan menjadi peluang dan ketahanan dalam menghadapi tantangan hidup. Hal itu dikenal dengan istilah Adversity Quetient (AQ).

Keyakinan

Mencermati pernyataan-pernyataan sekitar ujian nasional (UN), ada beberapa yang bisa dicatat, antara lain: adanya keyakinan bahwa UN dapat mendorong kualitas etos belajar; UN akan memaksa belajar keras dan menumbuhkan etos kerja keras; juga pernyataan bahwa anak yang tidak lulus UN sebagai anak malas.

Pernyataan-pernyataan itu diragukan kebenarannya, karena terlalu berlebihan dalam memosisikan UN, seolah tujuan pendidikan hanya untuk lulus UN. Padahal sudah jelas, tujuan pendidikan seperti yang telah disebutkan bukan hanya lulus UN walaupun mungkin ada manfaatnya tetapi tidak menentukan segalanya.

UN hanya salah satu parameter untuk melihat hasil pendidikan khususnya hanya dari segi akademik, terlebih lagi yang diujikan hanya tiga mata ajaran. Adanya siswa yang menjadi juara olimpiade (internasional) tetapi tidak lulus UN, dapat mengindikasikan bahwa UN tidak dapat menjadi ukuran yang akurat tentang pintar dan kualitas belajar siswa. Oleh karena itu, dalam meningkatkan kualitas bangsa melalui pendidikan, perlu memerhatikan unsur-unsur lain, karena masih banyak unsur yang lebih penting untuk membangun karakter unggul bangsa seperti yang dituntut oleh UUD dan UU tentang Sistem Pendidikan Nasional. Proses mencapai tujuan pendidikan tidak bisa dilakukan secara mendadak dan hanya ditentukan dalam waktu dua jam.

Pandangan yang menyatakan UN menjadi tolok ukur hasil pendidikan, berarti menjadi UN sebagai tujuan dan sasaran utama. Akibatnya seperti yang dapat dilihat, antara lain terjadinya kecurangan dalam pelaksanaan ujian baik oleh siswa maupun guru, misalnya membentuk "tim sukses"' menggunakan jockey, dan sebagainya.

Selain itu, pendidikan yang terlalu membesar-besarkan masalah akademik semata tanpa membangun kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual dapat dilihat antara lain pada sementara siswa yang gagal UN melakukan tindakan tercela seperti melukai guru, membakar sekolahnya, bunuh diri, dan sebagainya.

Mereka tidak bisa memahami dirinya apalagi memahami sifat-sifat Tuhan-nya. Kecurangan atau tindakan-tindakannya itu mencerminkan kosongnya jiwa, keringnya spiritualitas, dan tidak berfungsinya suara hati. Saatnyalah kini membangun dan menggalakkan apa yang disebut emotional-spiritual quotient (ESQ). Hal itu akan membangun otak kiri dan otak kanan sekaligus.

Pelaksanaan UN dan materi yang diujikan, tampak tidak sinkron dengan amanat konstitusi dan perundangan menyangkut pendidikan nasional, karena hanya memerhatikan kecerdasan intelegensia. Kemampuan intelektual saja jelas tidak menjamin kualitas dan keberhasilan manusia, dan kurang ada kaitannya dengan etos kerja keras.

UN telah mengabaikan proses pendidikan dan materi ajaran yang diberikan selama tiga tahun. Ironisnya, siswa yang berprestasi belajarnya baik dari kelas I-III dan sudah mendapat tawaran masuk perguruan tinggi tanpa tes, namun ketika siswa tersebut tidak lulus UN, maka juga tidak jadi diterima di perguruan tinggi tersebut. Itu mengindikasikan bahwa UN menjadi segala-galanya, dan mengabaikan prestasi di sekolah selama 3 tahun.

Mendapat kritikan menyangkut cukup banyak yang tidak lulus UN, maka pemerintah menawarkan Paket C untuk yang gagal UN. Solusi ini tampaknya bersifat reaktif dan dipicu oleh kebingungan. Ditawarkannya Paket C sebagai solusi sebenarnya menyimpang dari maksud dan rancangan semula. Apakah hal ini tidak membuat kerancuan baru? Apakah ini merupakan solusi yang tepat? Tampaknya dalam membuat kebijakan kurang mencermati konstitusi dan perundangan yang berlaku.

Seharusnya kebijakan harus didasarkan pada pedoman yang baku dan dilakukan secara holistik komprehensif, tidak parsial, tidak sepotong. Apabila kebijakan sudah benar, baru dirumuskan strateginya, selanjutnya operasionalnya. Masalah yang dihadapi saat ini bukan terletak pada siapa yang berwenang menyelenggarakan UN, tetapi apakah UN sudah sesuai dengan amanat konstitusi dan sasaran yang ditentukan oleh undang-undang.

Kurikulum Kita

eorang siswi sebuah sekolah menengah di Surabaya tiba-tiba selama 2 hari lebih tubuhnya terserang panas hebat, kebetulan kondisi keluarganya mulai tidak tentram. Ayahnya meninggalkan karena tertarik wanita lain. Ketika melihat putrinya si Ibu bingung dibawanya ke sebuah klinik namun masih tetap saja kondisi panas tubuhnya tidak juga reda. Si ibu kemudian berinisiatif untuk mengajak bicara putrinya mungkin karena semenjak ditinggal ayahnya dia terlalu memikirkan ayahnya. Namun setelah diajak bicara sianak justru mengajak sama sekali tidak terlalu memikirkan masalah antara ibu dan ayahnya. Si Ibu semakin bingung lalu dicobanya kembali untuk bicara dengan penuh kelembutan, dan barulah terungkap kalau ternyata sang putrinya terlalu memikirkan perkembangan nilainya di sekolah.

Bercermin dari peristiwa diatas dapatlah kita petik sebuah pelajaran bagi kita bahwa jika anak didik kita benar-benar kompeten dalam memikirkan sekolahnya mereka mengalami tekanan yang begitu hebat. Tekanan yang harus dia jalankan karena tugasnya sebagai murid. Belum lagi tekanan yang harus dia terima karena beban materi yang harus dia jalani selama dia sekolah. SMU kita mempunyai beban kurikulum yang sangat padat. Belum lagi kalau sekolah yang harus menjalankan kurikulum tersebut adalah sekolah swasta keagamaan yang secara otomatis akan menambah beberapa butin materi pelajaran kedalam kurikulum yang dijalankan.

Jumlah mata pelajaran di SMU lebih kurang sebanyak 15 mata pelajaran belum termasuk pelajaran yang dipunyai oleh sekolah keagamaan, sedang sistem pelaksanaan pendidikan memakai sistem Cawu atau caturwulan. Dapat kita bayangkan betapa beratnya beban yang harus mereka jalani.

Menurut pengalaman saya (kebetulan sampai saat ini saya bekerja di salah satu SMU Islam di Surabaya) para siswa banyak mengalami keteteran dalam mengejar ketertinggalan mereka yang dimana akhirnya mereka menambalnya dengan mengikuti bimbingan belajar. Beban 15 lebih mata pelajaran harus terselesaikan dalam masing-masing cawu. Setiap cawu guru juga dibebani untuk mengadakan ulangan harian, pemberian tugas, dan Ulangan Umum. Beban ini juga mengurangi ketersampaian materi yang dibebankan dalam satu cawu. Artinya batas cawu telah habis materi/pokok bahasan belum semua tersampaikan. Murid juga akan semakin tertekan karena keterbatasan waktu dan jumlah materi yang mereka terima, jalan satu-satunya mereka mengikuti les tambahan belajar dan ini secara otomatis akan menambah beban biaya pendidikan mereka.

Disamping itu penjurusan yang diberikan di sekolah mengnengah umum sangat membebani siswa. Penjurusan baru dilakukan ketika siswa kelas tiga dengan tiga option pilihan jurusan IPA, IPS, Bahasa. Penjurusan yang baru dilakukan pada kelas tiga ini membuat siswa semakin terbebani belum lagi model penjurusannya dimana IPA harus mempelajari bebang materi yang super berat bagi pandangan siswa yaitu Matematika, Kimia, Biologi dan Fisika. Saya masih ingat ketika saya masih di SMU dulu penjurusan terbagi dalam A1, A2, A3, A4. Dimana A1 itu terfokus kepada Matematika dan Fisika, A2 pada Kimia dan Biologi, A3 pada ekonomi dan Akuntansi sedang A4 terfokus pada Bahasa dan Sastra. Menurut saya penjurusan pada zaman saya tersebut tampaknya lebih bagus apalagi jika penjurusan dilakukan pada kelas-kelas awal. Mungkin saja di lakukan penjurusan pada saat kelas satu Caturwulan ke 3. Hal kemungkinan besar dapat dilakukan apabila sekolah tersebut mau sedikit bersusah payah membangun sistem penjaringan siswa yang mengarah kesana.

Beban kurikulum juga seharusnya dikurangi. Kurikulum seharusnya diarahkan kepada kemampuan dasar siswa sejak dini sehingga sekolah-sekolah menengah tidak mubazir menelurkan generasi-generasi selanjutnya. Kemampuan dasar yang harus mulai dilihat dan dikembangkan sebelum mereka memasuki sekolah lanjutan dan sekolah menengah. Harapan ini tidaklah berlebihan sebab negara kita jarang bahkan belum banyak mencetak ilmuan-ilmuan baru. Negera kita masih mencetak generasi-generasi pekerja yang hanya siap bekerja ikut orang lain bukan siap bekerja untuk masyarakatnya.

Pendidikan dari masa ke Masa

ulunya, pada tahun 1945 hingga 1948, Kementrian Pendidikan Nasional bernama Departemen Pengajaran dipimpin oleh seorang menteri. Sejak Indonesia merdeka, sudah berganti-ganti pula menteri-menteri pendidikan tersebut. Nah, di hari pendidikan nasional ini, mari kita mengenal mentri-mentri Pendidikan RI yang menjabat sedari tahun 1945.


Ki Hadjar Dewantara dikenal sebagai tokoh pendidikan. Beliau pula yang pertama kali menjabat sebagai Mentri Pendidikan Nasional RI pada kabinet Presidentil. Dulunya, namanya adalah Mentri Pengajaran. Ki Hajar Dewantara mengemban tanggung jawab ini sedari 19 Agustus 1945 hingga 14 November 1945. Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan Departemen Pendidikan Nasional.


Menggantikan Ki Hajar Dewantara, Todung Sutan Gunung Mulia menjadi Menteri Pendidikan Nasional pada kabinet Sjahrir I dan II. Beliau menjabat dari tanggal 14 November 1945 hingga 2 Oktober 1946. Mentri Pendidikan Nasional RI ketiga adalah Bapak Soewandi yang menjabat pada kabinet Sjahrir III. Masa jabatannya terhitung tanggal 2 Oktober 1946 hingga 27 Juni 1947. Sebelumnya, pada kabinet Sjahrir I dan II, beliau menjabat sebagai Menteri Kehakiman RI.


Setelah Bapak Soewandi, ada Ali Sastroamidjojo yang menjabat selama tiga kabinet. Pada masanya, nama Menteri Pengajaran berganti menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Berikutnya adalah Bapak Teuku Mohammad Hasan pada kabinet darurat, Sarmidi Mangunsarkoro pada kabinet Hatta II yang berakhir pada 20 Desember 1949. Abu Hanifah, Bahder Djohan, Mohammad Yamin, R.M. Suwandi, Sarino Mangunpranoto, Prijono, menjadi urutan berikutnya. Prijono menjabat paling lama yaitu sembilan tahun. Beliau juga menjadi bagian dari enam kabinet yaitu kabinet Djuanda, kabinet kerja I, II, dan III, serta kabinet Dwikora I.


Setelah itu ada Sanusi Hardjadinata pada kabinet Ampera II hingga tahun 1968. Memasuki kabinet Pembangunan I, Juni 1968, Mashuri Saleh menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI. Disusul kemudian oleh Sumantri Brodjonegoro, Syarief Thayeb, Daoed Joesoef, dan Nugroho Notsusanto.

Tak kalah lama dengan Prijono, Fuad Hassan juga menjabat selama delapan tahun pada kabinet pembangunan IV dan V. Setelah berhenti sebagai Mendikbud, beliau diangkat menjadi anggota DPA. Sebelumnya, ia pernah menjabat sebagai duta besar RI untuk Mesir dan anggota MPR. Fuad Hassan adalah guru besar di bidang psikologi (psikologi pendidikan) pada Universitas Indonesia. Selain sebagai guru besar di bidang psikologi, Fuad Hasan pernah menjadi dekan di fakultas psikologi Universitas Indonesia.


Jabatan Fuad Hassan kemudian dipindahkan kepada Wardiman Djojonegoro selama lima tahun. Lalu, Wiranto Arismudandar pada kabinet Pembangunan VII. Pada masa kabinet Reformasi Pembangunan, nama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan berganti menjadi Menteri Pendidikan Nasional yang kemudian dijabat oleh Juwono Soedarsono.

Lalu, pada 23 Oktober 1999, kabinet Persatuan Nasional mempercayakan Yahya Muhaimin menjabat sebagai Menteri Pendidikan Nasional. Agustus 2001, kabinet Gotong Royong menunjuk Abdul Malik Fadjar sebagai Menteri Pendidikan Nasional. Beliau adalah lulusan tahun 1972 dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Malang. Sebelumnya, beliau menjabat sebagai Menteri Agama Kabinet Reformasi Pembangunan.

Kabinet Indonesia Bersatu yang dipimpin oleh Presiden SBY mengangkat Bambang Sudibyo pada 20 Oktober 2004 lalu. Beliau adalah seorang politikus, ekonom, dan akademisi Indonesia. Ia adalah Menteri Keuangan pada Kabinet Persatuan Nasional. Kini, Mohammad Nuh merupakan Menteri Pendidikan Nasional RI yang ke-25. Sebelumnya, beliau pernah menjabat sebagai Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, dan juga pernah sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika. Beliau adalah lulusan Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya dan University of Illinois Urbana Champaign. (opie, berbagai sumber berbeda)