Selasa, 11 Mei 2010

Kontroversi Masalah Pendidikan dan UN

Kontroversi Masalah Pendidikan dan UN

Menyimak problematik menyangkut pendidikan nasional khususnya ujian nasional tampaknya seperti tanpa berujung pangkal. Dalam mencari solusi jangka panjang seyogianya dikembalikan kepada konstitusi dan perundangan yang berlaku.

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dan Pasal 31 Ayat 3 mengarahkan untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia.

Agar tujuan dan sasaran lebih jelas, maka UU No 20/ 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menetapkan antara lain pendidikan nasional ditujukan agar peserta didik dapat mengembangkan potensi dirinya secara aktif untuk memiliki kekuatan spiritual keamanan, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia, kecerdasan, dan keterampilan.

Apa yang digariskan tersebut di atas sangat jelas bahwa pendidikan bukan hanya menjadikan peserta didik pandai dari segi akademik, tetapi untuk menjadikan manusia yang utuh yang mampu menjadi manusia yang mengabdi kepada Sang Maha Pencipta, menjadi manusia demi manusia yang lain dan alam semesta.

Pendidikan yang hanya menciptakan kemampuan intelektual tanpa membangkitkan hati nurani akan menghasilkan manusia yang rapuh dan jiwa yang hampa dalam menghadapi tantangan kehidupan nyata. Pendidikan yang diharapkan harus memiliki "ruh" yang mengembangkan nilai-nilai bijak, dan mengarahkan pada kecerdasan intelektual/akademik atau Intelegence Quotient (IQ), kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (IQ), dan kecerdasan spiritual atau Spiritual Quetient (SQ).

EQ dan SQ sangat berperan dalam menunjang keberhasilan seseorang dalam perjuangan hidupnya. Kearifan untuk mengendalikan emosi justru akan menunjang bekerjanya nalar dan intelektual. EQ akan membangun motivasi, empati, kemampuan untuk memahami diri sendiri dan orang lain, sifat simpatik, solidaritas, dan intraksi sosial yang tinggi. Sementara SQ akan membimbing suara hati yang jernih yang mengarahkan kepada al napsu al matmainah, berani menghadapi hidup dengan optimisme, kreatif, fleksibel, dan visioner, serta memberikan kekuatan moral, memberikan kepastian jawaban tentang sesuatu yang baik dan yang buruk, dan bertanggung jawab hidup dan lingkungannya. Kesemuanya itu akan mewujudkan kemampuan mengubah hambatan menjadi peluang dan ketahanan dalam menghadapi tantangan hidup. Hal itu dikenal dengan istilah Adversity Quetient (AQ).

Keyakinan

Mencermati pernyataan-pernyataan sekitar ujian nasional (UN), ada beberapa yang bisa dicatat, antara lain: adanya keyakinan bahwa UN dapat mendorong kualitas etos belajar; UN akan memaksa belajar keras dan menumbuhkan etos kerja keras; juga pernyataan bahwa anak yang tidak lulus UN sebagai anak malas.

Pernyataan-pernyataan itu diragukan kebenarannya, karena terlalu berlebihan dalam memosisikan UN, seolah tujuan pendidikan hanya untuk lulus UN. Padahal sudah jelas, tujuan pendidikan seperti yang telah disebutkan bukan hanya lulus UN walaupun mungkin ada manfaatnya tetapi tidak menentukan segalanya.

UN hanya salah satu parameter untuk melihat hasil pendidikan khususnya hanya dari segi akademik, terlebih lagi yang diujikan hanya tiga mata ajaran. Adanya siswa yang menjadi juara olimpiade (internasional) tetapi tidak lulus UN, dapat mengindikasikan bahwa UN tidak dapat menjadi ukuran yang akurat tentang pintar dan kualitas belajar siswa. Oleh karena itu, dalam meningkatkan kualitas bangsa melalui pendidikan, perlu memerhatikan unsur-unsur lain, karena masih banyak unsur yang lebih penting untuk membangun karakter unggul bangsa seperti yang dituntut oleh UUD dan UU tentang Sistem Pendidikan Nasional. Proses mencapai tujuan pendidikan tidak bisa dilakukan secara mendadak dan hanya ditentukan dalam waktu dua jam.

Pandangan yang menyatakan UN menjadi tolok ukur hasil pendidikan, berarti menjadi UN sebagai tujuan dan sasaran utama. Akibatnya seperti yang dapat dilihat, antara lain terjadinya kecurangan dalam pelaksanaan ujian baik oleh siswa maupun guru, misalnya membentuk "tim sukses"' menggunakan jockey, dan sebagainya.

Selain itu, pendidikan yang terlalu membesar-besarkan masalah akademik semata tanpa membangun kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual dapat dilihat antara lain pada sementara siswa yang gagal UN melakukan tindakan tercela seperti melukai guru, membakar sekolahnya, bunuh diri, dan sebagainya.

Mereka tidak bisa memahami dirinya apalagi memahami sifat-sifat Tuhan-nya. Kecurangan atau tindakan-tindakannya itu mencerminkan kosongnya jiwa, keringnya spiritualitas, dan tidak berfungsinya suara hati. Saatnyalah kini membangun dan menggalakkan apa yang disebut emotional-spiritual quotient (ESQ). Hal itu akan membangun otak kiri dan otak kanan sekaligus.

Pelaksanaan UN dan materi yang diujikan, tampak tidak sinkron dengan amanat konstitusi dan perundangan menyangkut pendidikan nasional, karena hanya memerhatikan kecerdasan intelegensia. Kemampuan intelektual saja jelas tidak menjamin kualitas dan keberhasilan manusia, dan kurang ada kaitannya dengan etos kerja keras.

UN telah mengabaikan proses pendidikan dan materi ajaran yang diberikan selama tiga tahun. Ironisnya, siswa yang berprestasi belajarnya baik dari kelas I-III dan sudah mendapat tawaran masuk perguruan tinggi tanpa tes, namun ketika siswa tersebut tidak lulus UN, maka juga tidak jadi diterima di perguruan tinggi tersebut. Itu mengindikasikan bahwa UN menjadi segala-galanya, dan mengabaikan prestasi di sekolah selama 3 tahun.

Mendapat kritikan menyangkut cukup banyak yang tidak lulus UN, maka pemerintah menawarkan Paket C untuk yang gagal UN. Solusi ini tampaknya bersifat reaktif dan dipicu oleh kebingungan. Ditawarkannya Paket C sebagai solusi sebenarnya menyimpang dari maksud dan rancangan semula. Apakah hal ini tidak membuat kerancuan baru? Apakah ini merupakan solusi yang tepat? Tampaknya dalam membuat kebijakan kurang mencermati konstitusi dan perundangan yang berlaku.

Seharusnya kebijakan harus didasarkan pada pedoman yang baku dan dilakukan secara holistik komprehensif, tidak parsial, tidak sepotong. Apabila kebijakan sudah benar, baru dirumuskan strateginya, selanjutnya operasionalnya. Masalah yang dihadapi saat ini bukan terletak pada siapa yang berwenang menyelenggarakan UN, tetapi apakah UN sudah sesuai dengan amanat konstitusi dan sasaran yang ditentukan oleh undang-undang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar