Senin, 19 Juli 2010

Manajemen Pendidikan

Pentingnya Manajemen Pendidikan

Oleh: AsianBrain.com Content Team

Kemajuan suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh kualitas SDM bangsa tersebut. Kualitas SDM tergantung pada tingkat pendidikan masing-masing individu pembentuk bangsa. Pendidikan yang visioner, memiliki misi yang jelas akan menghasilkan keluaran yang berkualitas. Dari sanalah pentingnya manajemen pendidikan diterapkan.

Manajemen pendidikan merupakan hal yang harus diprioritaskan untuk kelangsungan pendidikan, sehingga menghasilkan keluaran yang diinginkan. Kenyataannya, banyak institusi pendidikan yang belum memiliki manajemen yang bagus dalam pengelolaan pendidikannya.

Manajemen yang digunakan masih konvensional, sehingga kurang bisa menjawab tantangan zaman dan terkesan tertinggal dari modernitas. Hal ini mengakibatkan sasaran-sasaran ideal pendidikan yang seharusnya bisa dipenuhi ternyata tidak bisa diwujudkan. Parahnya, terkadang para pengelola pendidikan tidak menyadari akan hal itu,

Manajemen pendidikan merupakan suatu proses untuk mengkoordinasikan berbagai sumber daya pendidikan seperti guru, sarana dan prasarana pendidikan seperti perpustakaan, laboratorium, dsb untuk mencapai tujuan dan sasaran pendidikan, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Dalam perkembangannya, manajemen pendidikan memerlukan Good Management Practice untuk pengelolaannya. Tetapi pada prakteknya, ini masih merupakan suatu hal yang elusif. Banyak penyelenggara pendidikan yang beranggapan bahwa hal tersebut bukanlah suatu hal yang penting,

Beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait manajemen pendidikan antara lain:

1. Sasaran Pendidikan: Aspek afektif

Salah satu isu utama keberhasilan pendidikan adalah sejauh mana tingkat afektifitas yang dimiliki oleh anak didik, apakah menjadi lebih saleh, berbudi pekerti, memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Inilah tantangan yang harus dijawab oleh pendidikan.

2. Manajemen Guru

Sampai saat ini, guru sebagai salah satu sumber daya terpenting pendidikan masih undermanaged atau bahkan mismanaged. Pimpinan pendidikan pada umumnya masih melihat guru sebagai faktor produksi saja. Padahal manajemen guru, adalah suatu hal yang sangat penting untuk keberhasilan suatu pendidikan.

3. Peningkatan Pengawasan

Dalam manajemen pendidikan, fungsi pengawasan sepertinya menempati posisi terlemah. Masih banyak aspek pendidikan yang berkaitan dengan pencapaian sasaran yang masih luput dari pengawasan.

4. Manajer Pendidikan

Keberhasilan manajemen pendidikan tidak bisa dilepaskan dari peran serta manajer/pengelola pendidikan. Selama ini banyak peran ganda yang dijalankan oleh komponen pendidikan, seperti guru menempati posisi sebagai kepala institusi pendidikan. Efisiensi biaya sering dijadikan alasan, meski urusan manajemen sangat berbeda dengan urusan belajar-mengajar.

5. Partisipasi Manajer Bisnis

Dalam membenahi manajemen pendidikan, tidak ada salahnya bagi penyelenggara pendidikan untuk memanfaatkan keterampilan menajerial para manajer bisnis. Fungsi manajemen bersifat universal dan keterampilan manajemen dapat ditransfer dari satu bidang ke bidang lain,

6. Aliansi antar sekolah

Aliansi antar institusi pendidikan bisa menjadi jalan memajukan institusi pendidikan, sehingga dapat belajar dari good management practice lembaga pendidikan lain.

7. Kebijakan Pemerintah

Faktor eksternal berupa keterlibatan pemerintah dalam pendidikan juga mempengaruhi manajemen pendidikan di negara tersebut.

Singkatnya, manajemen pendidikan sangat diperlukan oleh semua pihak yang terkait dengan pendidikan. Meski demikian, penerapannya ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan. Ada banyak tantangan dan problematika yang harus dihadapi, Semua pihak harus bekerja sama menyelesaikan problematika tersebut agar cita-cita pendidikan bisa terealisasi.
Tentang Penulis: AsianBrain.com Content Team. Asian Brain adalah pusat pendidikan Internet Marketing PERTAMA & TERBAIK di Indonesia. Didirikan oleh Anne Ahira yang kini menjadi ICON Internet Marketing Indonesia. Kunjungi situsnya: www.AsianBrain.com


Banyak kalangan yang belum puas dengan kualitas pendidikan di negara kita. Tentunya kita tidak jarang mendengarkan ungkapan-ungkapan seperti: “pendidikan negara kita belum berkualitas”, “pendidikan di Indonesia telah tertinggal jauh dari negara-negara lain”, “kapan kita akan maju kalau pendidikan kita berjalan di tempat”, dan lain sebagainya.

Para ahli pendidikan telah sepakat bahwa suatu sistem pendidikan dapat dikatakan berkualitas, apabila proses kegiatan belajar-mengajar berjalan secara menarik dan menantang sehingga peserta didik dapat belajar sebanyak dan sebaik mungkin melalu proses belajar yang berkelanjutan. Proses pendidikan yang bermutu akan menghasilkan hasli yang bermutu serta relevan dengan perkembangan zaman. Agar terwujud sebuah pendidikan yang bermutu dan efisien, maka perlu disusun dan dilaksanakan program-program pendidiakn yang mampu membelajarkan peserta didik secara berkelanjutan, karena dengan mutu pedidikan yang optimal, diharapkan akan menghasilkan keungugulan smber daya manusia yang dapat menguasai pengetahuan, keterampilan dan keahlian sesuai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang secara pesat.

Untuk dapat mencapai sebuah pendidikan yang berkualitas diperlukan manajemen pedidikan yang mampu memobilisasi segala sumber daya pendidikan. Di antaranya adalah manajemen peserta didik yang isinya merupakan pengelolaan dan juga pelaksanaannya. Masih banyak kita temukan fakta-fakta di lapangan sistem pengelolaan anak didik yang masih mengunakan cara-cara konvensional dan lebih menekankan pengembangan kecerdasan dalam arti yang sempit dan tentunya kurang mmberi perhatian kepada pengembangan bakat kreatif peserta didik. Padahal Kreativitas disamping bermanfaat untuk pengembangan diri anak didik juga merupakan kebutuhan akan perwujudan diri sebagai salah satu kebutuhan paling tinggi bagi manusia. Kreativitas adalah proses merasakan dan mengamati adanya masalah, membuat dugaan tentang kekurangan, menilai dan meguji dugaan atau hipotesis, kemudian mengubahnya dan mengujinya lagi sampai pada akhirnya menyampaikan hasilnya. Dengan adanya kreativitas yang diimplementasiakan dalam sistem pembelajaran, peserta didik nantinya diharapkan dapat menemukan ide-ide yang berbeda dalam memecahkan masalah yang dihadapi sehingga ide-ide kaya yang progresif dan divergen pada nantinya dapat bersaing dalam kompetisi global yang selalu berubah.

Perubahan kualitas yang seimbang baik fisik maupun mental merupakan idikasi dari perkambangan anak didik yang baik. Tidak ada satu aspek perkambangan dalam diri anak didik yang dinilai lebih penting dari yang lainnya. Oleh itu tidaklah salah bila teori kecerdasan majmuk yang diutarakan oleh Gardner dinilai dapat memenuhi kecenderungan perkambangan anak didik yang bervariasi.

Maka penyelenggaraan pendidikan saat ini harus diupayakan untuk memberikan pelayanan khusus kepada peserta didik yang mempunyai kreativitas dan juga keberbakatan yang berbeda agar tujuan pendidikan dapat diarahkan menjadi lebih baik.

Muhibbin Syah menjelaskan bahwa akar kata dari pendidikan adalah "didik" atau "mendidik" yang secara harfiah diartikan memelihara dan memberi latihan. Sedangkan "pendidikan", merupakan tahapan-tahapan kegiatan mengubah sikap dan perilaku seseorang atau sekelompok orang melalui upaya pelatihan dan pengajaran. Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan tidak dapat lepas dari pengajaran. Kegiatan dari pengajaran ini melibatkan peserta didik sebagai penerima bahan ajar dengan maksud akhir dari semua hal ini sesuai yang diamanatkan dalam undang-undang no. 20 tentang sisdiknas tahun 2003; agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Dalam pdidikan, peserta didik merupakan titik fokus yang strategis karena kepadanyalah bahan ajar melalu sebuah proses pengajaran diberikan. Dan sudah mafhum bahwa peserta didik memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing, mereka unik dengan seluruh potensi dan kapasitas yang ada pada diri mereka dan keunikan ini tidak dapat diseragamkan dengan satu aturan yang sama antara pesrta didik yang satu dengan peserta didik yang lain. Para pendidik dan lembaga pendidikan harus menghargai perbedaan yang ada pada mereka. Keunikan yang terjadi pada peserta didik memang menimbulkan satu permasalahan tersendiri yang harus diketahui dan dipecahkan sehingga pengelolaan murid (peserta didik) dalam satu kerangka kerja yang terpadu mutlak diperhatikan, terutama pertimbangan pada pengembangan kreativitas, hal ini harus menjadi titik perhatian karena sistem pendidikan memang masih diakui lebih menekankan pengembangan kecerdasan dalam arti yang sempit dan kurang memberikan perhatian kepada pengembangan kreatif peserta didik. Hal ini terjadi dari konsep kreativitas yang masih kurang dipahami secara holistic, juga filsafat pendidikan yang sejak zaman penjajahan bermazhabkan azas tunggal seragam dan berorientasi pada kepentingan-kepentingan, sehingga pada akhirnya berdampak pada cara mengasuh, mendidik dan mengelola pembelajaran peserta didik.

Kebutuhan akan kreativitas tampak dan dirasakan pada semua kegiatan manusia. Perkembangan akhir dari kreativitas akan terkait dengan empat aspek, yaitu: aspek pribadi, pendorong, proses dan produk. Kreativitas akan muncul dari interaksi yang unik dengan lingkungannya.Kreativitas adalah proses merasakan dan mengamati adanya masalah, membuat dugaan tentang kekurangan (masalah) ini, menilai dan mengujinya. Proses kreativitas dalam perwujudannya memerlukan dorongan (motivasi intristik) maupun dorongan eksternal. Motivasi intrinstik ini adalah intelegensi, memang secara historis kretivitas dan keberbakatan diartikan sebagai mempunyai intelegensi yang tinggi, dan tes intellejensi tradisional merupakan ciri utama untuk mengidentifikasikan anak berbakat intelektual tetapi pada akhirnya hal inipun menjadi masalah karena apabila kreativitas dan keberbakatan dilihat dari perspektif intelejensi berbagai talenta khusus yang ada pada peserta didik kurang diperhatikan yang akhirnya melestarikan dan mengembang biakkan Pendidikan Tradisional Konvensional yang berorientasi dan sangat menghargai kecerdasan linguistik dan logika matematik. Padahal, Teori psikologi pendidikan terbaru yang menghasilkan revolusi paradigma pemikiran tentang konsep kecerdasan diajukan oleh Prof. Gardner yang mengidentifikasikan bahwa dalam diri setiap anak apabila dirinya terlahir dengan otak yang normal dalam arti tidak ada kerusakan pada susunan syarafnya, maka setidaknya terdapat delapan macam kecerdasan yang dimiliki oleh mereka.

Undang-undang No.20 tentang sistem pendidikan nasional 2003, perundangan itu berbunyi " warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus". Baik secara tersurat ataupun tersirat UU No.20 tersebut telah mengamanatkan untuk adanya pengelolaan pelayanan khusu bagi anak-anak yang memiliki bakat dan kreativitas yang tinggi.

Pengertian dari pendidikan khusus disini merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan-pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pada akhirnya memang diperlukan adanya suatu usaha rasional dalam mengatur persoalan-persoalan yang timbul dari peserta didik karena itu adanya suatu manajemen peserta didik merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan.

Siswa berbakat di dalam kelas mungkin sudah menguasai materi pokok bahasan sebelum diberikan. Mereka memiliki kemampuan untuk belajar keterampilan dan konsep pembelajaran yang lebih maju. Untuk menunjang kemajuan peserta didik diperlukan modifikasi kurikulum. Kurikulum secara umum mencakup semua pengalaman yang diperoleh peserta didik di sekolah, di rumah, dan di dalam masyarakat dan yang membantunya mewujudkan potensi-potensi dirinya. Jika kurikulum umum bertujuan untuk dapat memenuhi kebutuhan pendidikan pada umumnya, maka saat ini haruslah diupayakan penyelenggaraan kurikulum yang berdiferensi untuk memberikan pelayanan terhadap perbedaan dalam minat dan kemampuan peserta didik. Dalam melakukan kurikulum yang berbeda terhadap peserta didik yang mempunyai potensi keberbakatan yang tinggi, guru dapat merencanakan dan menyiapkan materi yang lebih kompleks, menyiapkan bahan ajar yang berbeda, atau mencari penempatan alternatif bagi siswa. Sehingga setiap peserta didik dapat belajar menurut kecepatannya sendiri.

Dalam paradigma berpikir masyarakat Indonesia tentang kreativitas, cukup banyak orangtua dan guru yang mempunyai pandangan bahwa kreativitas itu memerlukan iklim keterbukaan dan kebebasan, sehingga menimbulkan konflik dalam pembelajaran atau pengelolaan pendidikan, karena bertentangan dengan disiplin. Cara pandang ini sangatlah tidak tepat. Kreativitas justru menuntut disiplin agar dapat diwujudkan menjadi produk yang nyata dan bermakna. Displin disini terdiri dari disiplin dalam suatu bidang ilmu tertentu karena bagaimanapun kreativitas seseorang selalu terkait dengan bidang atau domain tertentu, dan kreativitas juga menuntut sikap disiplin internal untuk tidak hanya mempunyai gagasan tetapi juga dapat sampai pada tahap mengembangkan dan memperinci suatu gagasan atau tanggungjawab sampai tuntas.

Suatu yang tidak terbantahkan jika masa depan membutuhkan generasi yang memiliki kemampuan menghadapi tantangan dan perubahan yang terjadi dalam era yang semakin mengglobal. Tetapi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia saat ini belum mempersiapkan para peserta didik dengan kemampuan berpikir dan sikap kreatif yang sangat menentukan keberhasilan mereka dalam memecahkan masalah.

Kebutuhan akan kreativitas dalam penyelenggaraan pendidikan dewasa ini dirasakan merupakan kebutuhan setiap peserta didik. Dalam masa pembangunan dan era yang semakin mengglobal dan penuh persaingan ini setiap individu dituntut untuk mempersiapkan mentalnya agar mampu menghadapi tantangan-tantangan masa depan. Oleh karena itu, pengembangan potensi kreatif yang pada dasarnya ada pada setiap manusia terlebih pada mereka yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa perlu dimulai sejak usia dini, Baik itu untuk perwujudan diri secara pribadi maupun untuk kelangsungan kemajuan bangsa.

Dalam pengembangan bakat dan kreativitas haruslah bertolak dari karakteristik keberbakatan dan juga kreativitas yang perlu dioptimalkan pada peserta didik yang meliputi ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Motivasi internal ditumbuhkan dengan memperhatikan bakat dan kreativitas individu serta menciptakan iklim yang menjamin kebebasan psikologis untuk ungkapan kreatif peserta didik di lingkungan rumah, sekolah, dan masyarakat.

Merupakan suatu tantangan bagi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia untuk dapat membina serta mengembangkan secara optimal bakat, minat, dan kemampuan setiap peserta didik sehingga dapat mewujudkan potensi diri sepenuhnya agar nantinya dapat memberikan sumbangan yang bermakna bagi pembangunan masyarakat dan negara. Teknik kreatif ataupun taksonomi belajar pada saat ini haruslah berfokus pada pengembangan bakat dan kreativitas yang diterapkan secara terpadu dan berkesinambungan pada semua mata pelajaran sesuai dengan konsep kurikulum berdiferensi untuk siswa berbakat. Dengan demikian diharapkan nantinya akan dihasilkan produk-produk dari kreativitas itu sendiri dalam bidang sains, teknologi, olahraga, seni dan budaya. Amin

Daftar Pustaka
_________ Depdikanas, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan Nasional, Jakarta: Depdiknas, 2003.
Tilaar, Manajemen Pendidikan nasional ; Kajian Pendidikan Masa Depan, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1992.
Munandar, Utami, Kreativitas dan Keberbakatan; Strategi Mewujudkan Potensi Kreati

PENGEMBANGAN MANAJEMEN ILMU PENDIDIKAN

Terdapat minat besar dalam manajemen pendidikan di bagian awal abad 21. Hal ini karena kualitas kepemimpinan dipercaya secara luas membuat perbedaan yang signifikan kepada sekolah dan siswa. Di banyak bagian dunia, ada pengakuan bahwa sekolah membutuhkan pemimpin dan manajer yang efektif jika mereka ingin memberikan pendidikan yang terbaik kepada pelajar mereka. Ketika ekonomi global mengalami resesi, pemerintah lebih menyadari bahwa aset utama mereka adalah orang-orang yang kompetitif dan semakin tergantung pada sebuah sistem pendidikan yang menghasilkan tenaga kerja terampil. Hal ini memerlukan guru-guru yang terlatih dan berkomitmen, dan pada gilirannya, memerlukan kepemimpinan kepala sekolah yang sangat efektif dan dukungan lain manajer senior dan menengah (Bush, in press).

Bidang manajemen pendidikan adalah pluralis, dengan banyaknya kekurangan perspektif dan kesepakatan yang tak terelakkan mengenai definisinya. Salah satu kunci perdebatan apakah manajemen pendidikan telah menjadi bidang yang berbeda atau hanya sebuah cabang studi yang lebih luas dari manajemen. Sementara pendidikan dapat belajar dari manajemen lain, manajemen pendidikan harus terpusat tujuan pendidikan. Tujuan atau tujuan ini memberikan arti penting arah untuk mendukung manajemen sekolah. Kecuali keterkaitan antara tujuan dan manajemen pendidikan yang jelas dan dekat, ada bahaya ‘Managerialism’, “Penekanan pada prosedur dengan mengorbankan tujuan pendidikan serta nilai-nilai “ (Bush, 1999:240).

1. Konsep Manajemen

Dari segi bahasa manajemen berasal dari kata manage (to manage) yang berarti “to conduct or to carry on, to direct” (Webster Super New School and Office Dictionary), dalam Kamus Inggeris Indonesia kata Manage diartikan “Mengurus, mengatur, melaksanakan, mengelola”(John M. Echols, Hasan Shadily, Kamus Inggeris Indonesia) , Oxford Advanced Learner’s Dictionary mengartikan ‘to Manage’ sebagai “to succed in doing something especially something difficult….. Management the act of running and controlling business or similar organization” sementara itu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ‘Manajemen’ diartikan sebagai “Prose penggunaan sumberdaya secara efektif untuk mencapai sasaran”(Kamus Besar Bahasa Indonesia). Adapun dari segi Istilah telah banyak para ahli telah memberikan pengertian manajemen, dengan formulasi yang berbeda-beda, berikut ini akan dikemukakan beberapa pengertian manajemen guna memperoleh pemahaman yang lebih jelas.

Tabel 1.1 Pendapat Pakar tentang Manajemen

No


Pengertian manajemen


Pendapat

1.


The most comporehensive definition views manajemen as an integrating process by which authorized individual create, maintain, and operate an organization in the selection an accomplishment of it’s aims


(Lester Robert Bittel (Ed), 1978 : 640)

2.


Manajemen itu adalah pengendalian dan pemanfaatan daripada semua faktor dan sumberdaya, yang menurut suatu perencanaan (planning), diperlukan untuk mencapai atau menyelesaikan suatu prapta atau tujuan kerja yang tertentu


(Prajudi Atmosudirdjo,1982 : 124)

3.


Manajemen is the use of people and other resources to accomplish objective


( Boone& Kurtz. 1984 : 4)

4.


.. manajemen-the function of getting things done through people


(Harold Koontz, Cyril O’Donnel:3)

5.


Manajemen merupakan sebuah proses yang khas, yang terdiri dari tindsakan-tindakan : Perencanaan, pengorganisasian, menggerakan, dan poengawasan, yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumberdaya manusia serta sumber-sumber lain


(George R. Terry, 1986:4)

6.


Manajemen dapat didefinisikan sebagai ‘kemampuan atau ketrampilan untuk memperoleh sesuatu hasil dalam rangka pencapaian tujuan melalui kegiatan-kegiatan orang lain’. Dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa manajemen merupakan alat pelaksana utama administrasi


(Sondang P. Siagian. 1997 : 5)

7.


Manajemen is the process of efficiently achieving the objectives of the organization with and through people


De Cenzo&Robbin

1999:5

Dengan memperhatikan beberapa definisi di atas nampak jelas bahwa perbedaan formulasi hanya dikarenakan titik tekan yang berbeda namun prinsip dasarnya sama, yakni bahwa seluruh aktivitas yang dilakukan adalah dalam rangka mencapai suatu tujuan dengan memanfaatkan seluruh sumberdaya yang ada, sementara itu definisi nomor empat yang dikemukakan oleh G.R Terry menambahkan dengan proses kegiatannya, sedangkan definisi nomor lima dari Sondang P Siagian menambah penegasan tentang posisi manajemen hubungannya dengan administrasi. Terlepas dari perbedaan tersebut, terdapat beberapa prinsip yang nampaknya menjadi benang merah tentang pengertian manajemen yakni :

1. Manajemen merupakan suatu kegiatan

2. Manajemen menggunakan atau memanfaatkan pihak-pihak lain

3. Kegiatan manajemen diarahkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu

Setelah melihat pengertian manajemen, maka nampak jelas bahwa setiap organisasi termasuk organisasi pendidikan seperti Sekolah akan sangat memerlukan manajemen untuk mengatur/mengelola kerjasama yang terjadi agar dapat berjalan dengan baik dalam pencapaian tujuan, untuk itu pengelolaannya mesti berjalan secara sistematis melalui tahapan-tahapan dengan diawali oleh suatu rencana sampai tahapan berikutnya dengan menunjukan suatu keterpaduan dalam prosesnya, dengan mengingat hal itu, maka makna pentingnya manajemen semakin jelas bagi kehidupan manusia termasuk bidang pendidikan.

2. Konsep Manajemen Pendidikan

Setelah memperoleh gambaran tentang manajemen secara umum maka pemahaman tentang manajemen pendidikan akan lebih mudah, karena dari segi prinsip serta fungsi-fungsinya nampaknya tidak banyak berbeda, perbedaan akan terlihat dalam substansi yang dijadikan objek kajiannya yakni segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah pendidikan.

Oteng Sutisna (1989:382) menyatakan bahwa Administrasi pendidikan hadir dalam tiga bidang perhatian dan kepentingan yaitu : (1) setting Administrasi pendidikan (geografi, demograpi, ekonomi, ideologi, kebudayaan, dan pembangunan); (2) pendidikan (bidang garapan Administrasi); dan (3) substansi administrasi pendidikan (tugas-tugasnya, prosesnya, asas-asasnya, dan prilaku administrasi), hal ini makin memperkuat bahwa manajemen pendidikan mempunyai bidang dengan cakupan luas yang saling berkaitan, sehingga pemahaman tentangnya memerlukan wawasan yang luas serta antisipatif terhadap berbagai perubahan yang terjadi di masyarakat disamping pendalaman dari segi perkembangan teori dalam hal manajemen.

Dalam kaitannya dengan makna manajemen Pendidikan berikut ini akan dikemukakan beberapa pengertian manajemen pendidikan yang dikemukakan para ahli. Dalam hubungan ini penulis mengambil pendapat yang mempersamakan antara Manajemen dan Administrasi terlepas dari kontroversi tentangnya, sehingga dalam tulisan ini kedua istilah itu dapat dipertukarkan dengan makna yang sama.

Tabel 2.1 Pendapat Pakar tentang manajemen Pendidikan

No


Pengertian manajemen Pendidikan


Pendapat

1.


Administrasi pendidikan dapat diartikan sebagai keseluruhan proses kerjasama dengan memanfaatkan semua sumber personil dan materil yang tersedia dan sesuai untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien…


Djam’an Satori, (1980: 4)

2.


Dalam pendidikan, manajemen itu dapat diartikan sebagai aktivitas memadukan sumber-sumber pendidikan agar terpusat dalam usaha mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan sebelumnya


Made Pidarta, (1988:4)

3.


Manajemen pendidikan ialah proses perencanaan, peng-organisasian, memimpin, mengendalikan tenaga pendidikan, sumber daya pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan, mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti yang luhur, memiliki pengetahuan, keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap, mandiri, serta bertanggung jawab kemasyarakat dan kebangsaan


Biro Perencanaan Depdikbud, (1993:4)

4.


educational administration is a social process that take place within the context of social system


Castetter. (1996:198)

5.


Manajemen pendidikan dapat didefinisikan sebagi proses perencanaan, pengorganisasian, memimpin, mengendalikan tenaga pendidikan, sumber daya pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan…


Soebagio Atmodiwirio. (2000:23)

6.


Manajemen pendidikan ialah suatu ilmu yang mempelajari bagaimana menata sumber daya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara produktif dan bagaimana menciptakan suasana yang baik bagi manusia yang turut serta di dalam mencapai tujuan yang disepakati bersama


Engkoswara (2001:2)

dengan memperhatikan pengertian di atas nampak bahwa manajemen pendidikan pada prinsipnya merupakan suatu bentuk penerapan manajemen atau administrasi dalam mengelola, mengatur dan mengalokasikan sumber daya yang terdapat dalam dunia pendidikan, fungsi administrasi pendidikan merupakan alat untuk mengintegrasikan peranan seluruh sumberdaya guna tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu konteks sosial tertentu, ini berarti bahwa bidang-bidang yang dikelola mempunyai kekhususan yang berbeda dari manajemen dalam bidang lain.

Menurut Engkoswara (2001:2) wilayah kerja manajemen pendidikan dapat digambarkan secara skematik sebagai berikut :

Perorangan

Garapan

Fungsi


SDM


SB


SFD

Perencanaan


TPP

Pelaksanaan


Pengawasan


Kelembagaan

Tabel 2.2 Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan

gambar di atas menunjukan suatu kombinasi antara fungsi manajemen dengan bidang garapan yakni sumber Daya manusia (SDM), Sumber Belajar (SB), dan Sumber Fasilitas dan Dana (SFD), sehingga tergambar apa yang sedang dikerjakan dalam konteks manajemen pendidikan dalam upaya untuk mencapai Tujuan Pendidikan secara Produktif (TPP) baik untuk perorangan maupun kelembagaan Lembaga pendidikan seperti organisasi sekolah merupakan kerangka kelembagaan dimana administrasi pendidikan dapat berperan dalam mengelola organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dilihat dari tingkatan-tingkatan suatu organisasi dalam hal ini sekolah, administrasi pendidikan dapat dilihat dalam tiga tingkatan yaitu tingkatan institusi (Institutional level), tingkatan manajerial (managerial level), dan tingkatan teknis (technical level) (Murphy dan Louis, 1999). Tingkatan institusi berkaitan dengan hubungan antara lembaga pendidikan (sekolah) dengan lingkungan eksternal, tingkatan manajerial berkaitan dengan kepemimpinan, dan organisasi lembaga (sekolah), dan tingkatan teknis berkaitan dengan proses pembelajaran. Dengan demikian manajemen pendidikan dalam konteks kelembagaan pendidikan mempunyai cakupan yang luas, disamping itu bidang-bidang yang harus ditanganinya juga cukup banyak dan kompleks dari mulai sumberdaya fisik, keuangan, dan manusia yang terlibat dalam kegiatan proses pendidikan di sekolah

Menurut Consortium on Renewing Education (Murphy dan Louis, ed. 1999:515) Sekolah (lembaga pendidikan) mempunyai lima bentuk modal yang perlu dikelola untuk keberhasilan pendidikan yaitu :

1. Integrative capital (modal integrative)

2. Human capital (modal manusia)

3. Financial capital (modal keuangan)

4. Social capital (modal social)

5. Political capital (modal politik)

Modal integratif adalah modal yang berkaitan dengan pengintegrasian empat modal lainnya untuk dapat dimanfaatkan bagi pencapaian program/tujuan pendidikan. Modal manusia adalah sumberdaya manusia yang kemampuan untuk menggunakan pengetahuan bagi kepentingan proses pendidikan/pembelajaran. Modal keuangan adalah dana yang diperlukan untuk menjalankan dan memperbaiki proses pendidikan. Modal sosial adalah ikatan kepercayaan dan kebiasaan yang menggambarkan sekolah sebagai komunitas. Modal politik adalah dasar otoritas legal yang dimiliki untuk melakukan proses pendidikan/pembelajaran.

Dengan pemahaman sebagaimana dikemukakan di atas, nampak bahwa salah satu fungsi penting dari manajemen pendidikan adalah berkaitan dengan proses pembelajaran, hal ini mencakup dari mulai aspek persiapan sampai dengan evaluasi untuk melihat kualitas dari suatu proses tersebut, dalam hubungan ini Sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan yang melakukan kegiatan/proses pembelajaran jelas perlu mengelola kegiatan tersebut dengan baik karena proses belajar mengajar ini merupakan kegiatan utama dari suatu sekolah (Hoy dan Miskel 2001). Dengan demikian nampak bahwa Guru sebagai tenaga pendidik merupakan faktor penting dalam manajemen pendidikan, sebab inti dari proses pendidikan di sekolah pada dasarnya adalah guru, karena keterlibatannya yang langsung pada kegiatan pembelajaran di kelas. Oleh karena itu Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidik dalam suatu lembaga pendidikan akan menentukan bagaimana kontribusinya bagi pencapaian tujuan, dan kinerja guru merupakan sesuatu yang harus mendapat perhatian dari fihak manajemen pendidikan di sekolah agar dapat terus berkembang dan meningkat kompetensinya dan dengan peningkatan tersebut kinerja merekapun akan meningkat, sehingga akan memberikan berpengaruh pada peningkatan kualitas pendidikan sejalan dengan tuntutan perkembangan global dewasa ini.

3. Perkembangan Manajemen Pendidikan

(1) Teori Manajemen Kuno;

Sampai dengan tingkat tertentu, manajemen telah dipraktekkan oleh masyarakat kuno. Sebagai contoh, bangsa Mesir bisa membuat piramida. Bangunan yang cukup kompleks yang hanya bisa diselesaikan dengan koordinasi yang baik. Kekaisaran Romawi mengembangkan struktur organisasi yang jelas, dan sangat membantu komunikasi dan pengendalian.

Meskipun manajemen telah dipraktekkan dan dibicarakan di jaman kuno, tetapi kejadian semacam itu relatif sporadis, dan tidak ada upaya yang sistematis untuk mempelajari manajemen. Karena itu manajemen selama beberapa abad kemudian “terlupakan”.

Pada akhir abad 19-an, perkembangan baru membutuhkan studi manajemen yang lebih serius. Pada waktu industrialisasi berkembang pesat, dan perusahaan-perusahaan berkembang menjadi perusahaan raksasa.

(2) Teori Manajemen Klasik;

a) Teori Manajemen Klasik

· Robert Owen (1771-1858)

Owen berkesimpulan bahwa manajer harus menjadi pembaharu (reformer). Beliau melihat peranan pekerja sebagai yang cukup penting sebagai aset perusahaan. Pekerja bukan saja merupakan input, tetapi merupakan sumber daya perusahaan yang signifikan. Ia juga memperbaiki kondisi pekerjanya, dengan mendirikan perumahan (tempat tinggal) yang lebih baik. Beliau juga mendirikan toko, yang mana pekerjanya tidak kesusahan dan dapat membeli kebutuhan dengan harga murah. Ia juga mengurangi jam kerja dari 15 jam menjadi 10,5 jam, dan menolah pekerja dibawah umur 10 tahun.

Owen berpendapat dengan memperbaiki kondisi kerja atau invertasi pada sumber daya manusia, perusahaan dapat meningkatkan output dan juga keuntungan. Disamping itu Owen juga memperkenalkan sistem penilaian terbuka dan dilakukan setiap hari. Dengan cara seperti itu manajer diharapkan bisa melokalisir masalah yang ada dengan cepat.

· Charles Babbage (1792-1871)

Babbage merupakan profesor matematika di Inggris. Dengan metode kuantitatifnya beliau percaya:

1. Bahwa prinsip-prinsip ilmiah dapat diterapkan untuk meningkatkan efisiensi produksi, produksi naik biaya operasi turun.

2. Pembagian Kerja (division of labor); dengan ini kerja/operasi pabriknya bisa dianalisis secara terpisah. Dengan cara semacam ini pula training bisa dilakukan dengan lebih mudah.

3. Dengan melakukan pekerjaan yang sama secara berulang-ulang, maka pekerja akan semakin terampil dan berarti semakin efisien.

b) Teori Manajemen Ilmiah

· Federick Winslow Taylor (1856-1915)

Federick Taylor disebut sebagai bapak manajemen ilmiah. Taylor memfokuskan perhatiannya pada studi waktu untuk setiap pekerjaan (time and motion study); dari sini ia mengembangkan analisis kerja. Taylor kemudian memperkenalkan sistem pembayaran differential (differential rate).

Manajemen Taylor didasarkan pada langkah atau prinsip sebagai berikut :

1. Mengambangkan Ilmu untuk setiap elemen pekerjaan, untuk menggantikan pikiran yang didasari tanpa ilmu.

2. Memilih karyawan secara ilmiah, dan melatih mereka untuk melakukan pekerjaan seperti yang ditentukan pada langkah-1.

3. Mengawasi karyawan secara ilmiah, untuk memastikan mereka mengikuti metode yang telah ditentukan.

4. Kerjasama antara manajemen dengan pekerja ditingkatkan. Persahabatan antara keduanya juga ditingkatkan

· Frank B. Gilberth (1868-1924) dan Lillian Gilberth (1887-1972)

Keduanya adalah suami istri yang mempunyai minat yangsama terhadap manajemen. Menurut Frank pergerakan yang dapat dihilangkan akan mengurangi kelelahan. Semangat kerja akan naik karena bermanfaat secara fisik pada karyawan. Sedang Lilian memberikan kontribusi pada lapangan psikologi industri dan manajemen personalia. Beliau percaya bahwa tujuan akhir manajemen ilmiah adalah membantu pekerja mencapai potensi penuhnya sebagai seorang manusia. Keduanya mengembangkan rencana promosi tiga tahap, yaitu :

1. Menyiapkan Promosi

2. Melatih Calon Pengganti

3. Melakukan Pekerjaan

Menurut metode tersebut, seorang pekerja akan bekerja seperti biasa, sambil menyiapkan promosi karir, dan melatih calon penggantinya. Dengan demikian pekerja akan menjadi pelaksana, pelajar yaitu menyiapkan karir yang lebih tinggi, dan pengajar dalam arti mengajari dalon pengganti.

· Henry L. Gantt (1861-1919)

Gantt melakukan perbaikan metode sistem penggajian Taylor (differential system) karena menurutnya metode tersebut kurang memotivasi kerja. Sistem Pengawasan (supervisor) diterapkannya sebagai upaya untuk memacu semangat kerja karyawan. Disamping itu Gantt juga memperkenalkan sistem penilaian terbuka yang awalnya merupakan ide Owen. Gantt chart (bagan Gantt) kemudian populer dan gigunakan untuk perencanaan, yaitu mencatat scedul (jadwal) pekerja tertentu.

c) Teori Manajemen Organisasi

· Henry Fayol (1841-1925)

Henry Fayol merupakan industrialis Prancis, ia sering disebut sebagai bapak aliran manajemen klasik karena upaya “mensistematisir” studi manajerial. Menurut Fayol, praktek manajemen dapat dikelompokkan ke dalam beberapa pola yang dapat diidentifikasi dan dianalisis. Dan selanjutnya analisis tersebut dapat dipelajari oleh manajer lain atau calon manajer.

Fayol adalah orang yang pertama mengelompokkan kegiatan menajerial dalam 4 fungsi manajemen, yaitu : (1) Perencanaan, (2) Pengorganisasian, (3) Pengarahan, dan (4) Pengendalian. Fayol percaya bahwa manajer bukan dilahirkan tetapi diajarkan. Manajemen bisa dipelajari dan dipraktekkan secara efektif apabila prinsip-prinsip dasarnya dipahami.

· Max Weber (1864-1920)

Max Weber adalah seorang ahli sosiologi Jerman yang mengembangkan teori birokrasi. Menurutnya, suatu organisasi yang terdiri dari ribuan anggota membutuhkan aturan jelas untuk anggota organisasi tersebut. Organisasi yang ideal adalah birokrasi dimana aktivitas dan tujuan diturunkan secara rasional dan pembagian kerja disebut dengan jelas. Birokrasi didasarkan pada aturan yang rasional yang dapat dipakai untuk mendesain struktur organisasi yang jelas.

Konsep birokrasi Weber berlainan dengan pengertian birokrasi populer, dimana orang cnderung mengartikan kata birokrasi dengan konotasi negatif, yaitu organisasi yang lamban, tidak reponsif terhadap perubahan.

· Mary Parker Follet (1868-1933)

Mary Parker Follet agak berbeda sedikit dengan pendahulunya karena memasukkan elemen manusia dan struktur organisasi kedalam analisisnya. Elemen tersebut kemudian muncul dalam teori perilaku dan hubungan manusia. Follet percaya bahwa seseorang akan menjadi manusia sepenuhnya apabila manusia menjadi anggota suatu kelompok. Konsekuensinya, Follet percaya bahwa manajemen dan pekerja mempunyai kepentingan yang sama, karena menjadi anggota organisasi yang sama.

Selanjutnya Follet mengembangkan model perilaku pengendalian organisasi dimana seseorang dikendalikan oleh tiga hal, yaitu :

1. Pengendalian diri (dari orang tersebut);

2. Pengendalian kelompok (dari kelompok);

3. Pengendalian bersama (dari orang tersebut dan dari kelompok).

· Chester I Barnard (1886-1961)

Bernard mengambangkan teori organisasi, menurutnya orang yang datang keorganisasi formal (seperti perusahaan) karena ingin mencapai tujuan yang tidak dapat dicapai sendiri. Pada waktu mereka berusaha mencapai tujuan organisasi, mereka juga akan berusaha mencapai tujuannya sendiri. Organisasi bisa berjalan dengan efektif apabila keseimbangan tujuan organisasi dengan tujuan anggotanya dapat terjaga.

Bernard percaya bahwa keseimbangan antara tujuan organisasi dengan individu dapat dijaga apabila manajer mengerti konsep wilayah penerimaan (zone of acceptance), dimana pekerja akan menerima instruksi atasannya tanpa mempertanyakan otoritas manajemen.

(3) Teori Manajemen Kontemporer.

Beberapa pendekatan sudah dibicarakan dimuka, dimana pendekatan-pendekatan tersebut mengalami perkembangan. Ada beberapa perkembangan yang cenderung mengintegrasikan pendekatan-pendekatan sebelumnya, menjadikan batas-batas pendekatan yang telah dibicarakan menjadi tidak jelas. Namun demikian ada pendekatan yang tetap berakar pada pendekatan-pendekatan tertentu. Bagian berikut ini akan membicarakan pendekatan baru dalam manajemen :

1) Pendekatan Sistem

Sistem dapat diartikan sebagai gabungan sub-sub sistem yang saling berkaitan. Organisasi sebagai suatu sistem akan dipandang secara keseluruhan, terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan (sub-sistem), dan sistem/organisasi tersebut akan berinteraksi dengan lingkungan.

Model pendekatan sistem dapat digambarkan sebagai berikut[10] :

Pada proses selanjutnya pendekatan inilah yang selama ini digunakan dalam sistem manajemen pendidikan di indonesia. Sebelum munculnya sistem pendekatan-pendekatan yang baru.

2) Pendekatan Situasional (Contingency)

Pendekatan ini menganggap bahwa efektivitas manajemen tergantung pada situasi yang melatarbelakanginya. Prinsip manajemen yang sukses pada situasi tertentu, belum tentu efektif apabila digunakan di situasi lainnya. Tugas manajer adalah mencari teknik yang paling baik untuk mencapai tujuan organisasi, dengan melihat situasi, kondisi, dan waktu yang tertentu.

Pendekatan situasional memberikan “resep praktis” terhadap persoalan manajemen. Tidak mengherankan jika pendekatan ini dikembangkan manajer, konsultan, atau peneliti yang banyak berkecimpung dengan dunia nyata. Pendekatan ini menyadarkan manajer bahwa kompleksitas situasi manajerial, membuat manajer fleksibel atau sensitif dalam memilih teknik-teknik manajemen yang terbaik berdasarkan situasi yang ada.

Namun pendekatan ini dalam perkembangannya dikritik karena tidak menawarkan sesuatu yang baru. Pendekatan ini juga belum dapat dikatakan sebagai aliran atau disiplin manajemen baru, yang mempunyai batas-batas yang jelas.

3) Pendekatan Hubungan Manusia Baru (Neo-Human Relation)

Pendekatan ini berusaha mengintegrasikan sis positif manusia dan manajemen ilmiah. Pendekatan ini melihat bahwa manusia merupakan makhluk yang emosional, intuitif, dan kreatif. Dengan memahami kedudukan manusia tersebut, prinsip manajemen dapat dikembangkan lebih lanjut. Tokoh yang dapat disebut mewakili aliran ini adalah W. Edwadr Deming, yang mengembangkan prinsip-prinsip manajemen seperti Fayol yang berfokus pada kualitas kerja dan hubungan antar karyawan.

Dalam perjalanannya pendekatan ini masih membutuhkan waktu untuk sampai dikatakan sebagai aliran manajemen baru. Meskipun demikian pendekatan tersebut cukup populer baik dilingkungan akademis maupun praktis. Ide-ide pendekatan tersebut banyak mempengaruhi praktek manajemen saat ini.

4. STUDI KASUS DI INDONESIA

a. Penerapan Manajemen Pendidikan di Indonesia

Ada dua hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan dunia pendidikan, yakni (1) evaluasi pendidikan, dan (2) pemikiran untuk memfungsikan pendidikan di Indonesia. Dari dua hal ini ketika kita tarik kedalam menejemen pendidikan yang berjalan di Indonesia, ada beberapa fenomena menarik yang sangat menonjol dewasa ini, diantaranya ialah : a) pendidikan kita tidak mendewasakan anak didik, b) pendidikan kita telah kehilangan objektivitasnya, c) pendidikan kita tidak menumbuhkan pola berfikir, d) pendidikan kita tidak menghasilkan manusia terdidik, e) pendidikan kita dirasa membelenggu, f) pendidikan kita belum mampu membangun individu belajar, g) pendidikan kita dirasa linier-indroktinatif, h) pendidikan kita belum mampu menghasilkan kemandirian, dan i) pendidikan kita belum mampu memberdayakan dan membudayakan peserta didik.

Fenomena tersebut di atas, itu semua adalah tentang evaluasi dari pendidikan kita yang ada sekarang ini. Sedangkan pemikiran untuk memfungsikan pendidikan di Indonesia dirasa selain merupakan tuntutan kebutuhan di atas, juga dibutuhkan adanya (1) “peace education” pendidikan yang damai / menyejukkan; (2) pendidikan yang mampu membangun kehidupan demokratik; (3) pendidikan yang mampu menumbuhkan semangat menjunjung tinggi HAM, dan (4) pendidikan yang mampu membangun keutuhan pribadi manusia berbudaya.

Dari persoalan tersebut diatas, jelas bahwa dunia pendidikan kita masih jauh dari nilai-nilai yang ingin dicapai. Apa yang salah dari ini semua? Sebuah pertanyaan yang mungkin akan kita jawab bersama sebagai manusia yang peduli terhadap dunia pendidikan. Kalau kita cermati lebih jauh, apa yang telah diperbuat oleh lembaga pendidikan dewasa ini - yang telah dengan susah payah menerapkan berbagai teori manajemen pendidikan yang cocok untuk mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan – masih jauh dari harapan yang sebenarnya.

Kebijakan mulai dari CBSA (cara belajar siswa aktif) sampai sekarang yang didengung-dengungkan dengan KBK (kurikulum berbasis kompetensi) adalah berbagai upaya dunia pendidikan kita untuk mencerdaskan anak didiknya sesuai dengan perkembangan zaman. Muncul lagi MBS (manajemen berbasis sekolah) adalah sebuah alternatif pemecahan yang menginginkan pengelolaan pendidikan yang dibebankan kepada sekolah, sehingga apa yang diinginkan suatu daerah (lembaga pendidikan) terhadap potensi anak didiknya bisa tersalurkan dengan baik. Ini adalah sedikit tentang bagaimana sebenarnya penerapan pendidikan di Indonesia, dn masih banyak lagi model-model yang diterapkan.

Kalau kita lihat bagaimana sebuah lembaga pendidikan menerapkan apa yang telah ada dalam teori manajemen pendidikan, maka mungkin apa yang terjadi di atas minimal dapat terhindarkan. Lagi-lagi itu semua karena kebijakan pendidikan kita selama ini masih sangat semrawut. Sehingga hasil yang diharapkan dari komponen-komponen penyelenggara pendidikan antara satu komponen dengan komponen yang lain masih sangat jauh berbeda bahkan ada yang bertentangan.

b. Beberapa Masalah Manajemen di Indonesia

Sejak zaman orde lama, orde baru sampai sekarang zaman reformasi, sistem pendidikan Nasional kita masih belum mempunyai perubahan yang signifikan. Persoalan pendidikan di Indonesia dewasa ini sangat kompleks. Permasalahan yang besar antara lain menyangkut persoalan mutu pendidikan, pemerataan pendidikan, dan manajemen pendidikan. Mengenai mutu pendidikan menurut Paul Suparno adalah masalah mengenai kurikulum, proses pembelajaran, evaluasi, buku ajar, mutu guru, sarana dan prasarana. Termasuk pemerataan pendidikan adalah masih banyaknya anak umur sekolah yang tidak dapat menikmati pendidikan formal di sekolah. Sedang persoalan manajemen pendidikan adalah menyangkut segala macam pengaturan pendidikan seperti otonomi pendidikan, birokrasi, dan transparansi agar kualitas dam pemerataan pendidikan dapat terselesaikan.[11]

Inilah persoalan yang besar sebenarnya, karena bagaimanapun juga ketika sebuah intitusi pendidikan tidak mempunyai sistim manajemen pendidikan yang baik, maka dapat dipastikan mutu pendidikannya pun bisa jadi tidak baik pula. Sebagaimana yang dirasakan dalam sistem manajemen pendidikan kita dewasa ini, dengan munculnya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dimungkinkan akan sedikit menjawab persoalan tersebut.

Di atas juga sudah diterangkan tentang manajemen secara umum yang itu diterapkan dalan manajemen pendidikan kita. Seperti halnya sistem manajemen yang ditemukan oleh tokoh-tokoh manajemen, yaitu (POAC) Planning, Organizing, Actuating, dan Controling. Adalah sistem manajemen yang sangat luar biasa ketika itu dilakasanakan dengan sempurna.

Sistem Manajemen Pendidikan yang terjadi di Indonesia sejak zaman orde baru (yang masih menggunakan manajemen pendidikan sentralistik) sampai kemudian muncul Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang sudah cenderung kepada otomisasi lembaga-lembaga pendidikan (desentralisasi pendidikan), mempunyai arti yang sangat luas. Disamping mempunyai kekurangan dan kelebihan masing-masing. Persoalan inilah yang akan kita bahas selanjutnya.

c. Analisis

Sejak zaman Orde Baru telah banyak yang di capai dalam pembangunan nasional termasuk bidang pendidikan. Kemajuan ini juga mendapat pengakuan dari seluruh dunia dengan diberikannya penghargaan Avisiena kepada Presiden Republik Indonesia karena keberhasilan melaksanakan wajib belajar sekolah dasar. Namun ditengah-tengah kesuksesan yang telah dicapai tersebut masih banyak permasalahan yang perlu diselesaikan, seperti halnya pengangguran tenaga-tenaga terdidik hasil dari sistem pendidikan kita. Disatu pihak pendidikan kita telah melahirkan lulusan pendidikan tinggi dan menengah tetapi dilain pihak menambah pengangguran.[12]

Sebagaimana dijelaskan oleh H.A.R Tilaar, bahwa di dalam sistem pendidikan sekurang-kurangnya berisi faktor-faktor biaya, pengelola, institusi, dan sistem manajemennya.[13] Sistem manajemen pendidikan kita (era orde lama dan orde baru) masih terlalu sentralistik (pemerintah pusat), sebagaimana kita tahu bahwa suatu sistem yang sentralistik dan birokratik, maka ruang-gerak untuk inovasi sangat terbatas. Demikian pula kreativitas dari para pendidiknya boleh dikatakan menjadi hilang karena segala sesuatu telah ditentukan menurut garis-garis yang ditentukan. Sehingga apa yang diinginkan daerah (lembaga pendidikan) tidak tercapai karena sifat yang sentralistik tersebut. Hasilnya adalah jumlah out-put banyak namun itu menambah pengangguran yang banyak pula.

Pada era reformasi mulai muncul Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) seiring dengan bergulirnya otonomi daerah (pelimpahan wewenang pemerintah pusat pada pemerintah daerah). Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dalam bahasa Inggris disebut ”School Based Management” merupakan strategi yang jitu untuk mencapai manajemen sekolah yang efektif dan efisien. Konsep ini pertama kali muncul di Amerika Serikat, latar belakangnya adalah ketika itu masyarakat mempertanyakan apa yang dapat diberikan sekolah kepada masyarakat dan juga apa relevansi dan korelasi pendidikan dengan tuntutan maupun kebutuhan masyarakat.[14]

Model MBS ini adalah suatu ide dimana kekuasaan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pendidikan diletakkan pada tempat yang paling dekat dengan proses belajar mengajar, yakni sekolah. Konsep ini didasarkan pada “Self Determination Theory” yang menyatakan bahwa apabila seseorang atau kelompok memiliki kekuasaan untuk mengambil keputusan sendiri, maka orang atau kelompok tersebut akan memiliki tanggung jawab yang besar untuk melaksanakan apa yang telah diputuskan tersebut.[15] Dalam pelaksanaan MBS tersirat adanya tugas sekolah untuk meningkatkan mutu pendidikan menggunakan strategi yang lebih memberdayakan semua potensi sekolah secara optimal.

Sisi kelebihan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dibandingkan dengan model sentralistik adalah sekolah memiliki kekuasaan, antara lain : (1) mengambil keputusan berkaitan dengan pengelolaan kurikulum; (2) keputusan berkaitan dengan rekruitmen dan pengelolaan guru dan pegawai administrasi; (3) keputusan berkaitan dengan pengelolaan sekolah. Dengan demikian dapat dilihat sekaligus ditegaskan bahwa model MBS ini pada hakekatnya adalah memberikan otonomi yang lebih luas kepada sekolah, dengan tujuan akhir meningkatkan mutu hasil penyelenggaraan pendidikan melalui peningkatan kinerja dan partisipasi semua stakeholdernya.

Demikian pula yang disampaikan Mulyasa bahwa kewenangan yang bertumpu pada sekolah merupakan inti dari MBS yang dipandang memiliki tingkat efektivitas tinggi serta memberikan beberapa keuntungan berikut : (1) Kebijaksanaan dan kewenangan sekolah membawa pengaruh langsung kepada peserta didik, orang tua, dan guru; (2) Bertujuan bagaimana memanfaatkan sumber daya lokal; dan (3) Efektif dalam melakukan pembinaan peserta didik seperti kehadiran, hasil belajar, tingkat pengulangan, tingkat putus sekolah, moral guru, dan iklim sekolah.[16]

Disamping itu dalam sebuah sekolah, tanggung jawab pokok untuk pembentukan moral dan intelektual akhirnya tidak terletak pada salah satu prosedur atau kegiatan baik intra-kurikuler maupun ekstra-kurikuler; akan tetapi terletak pada pengajarnya. Sekolah merupakan kebersamaan bersemuka, tempat hubungan personel otentik antara pengajar dan pelajar dapat berkembang. Tanpa persahabatan ragam itu banyak kekuatan dari pendidikan dan pengajaran akan menghilang. Hubungan saling percaya dan persahabatan otentik antara pengajar dan pelajar merupakan syarat mutlak pertumbuhan sejati dari komitmen kepada nilai-nilai. Proses itu semua akan terwujud ketika berada dalam ruang lingkup manajemen yang baik, dan ini menurut J. Drost, SJ akan terwujud dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)[17].

DAFTAR PUSTAKA

E. Mulyasa, Dr. M.Pd., Manajemen Berbasis Sekolah (Konsep, Strategi dan Implementasi), Bandung, PT. Remaja Rosda Karya, cet. 3 & 4, 2003.

H. Syaiful Sagala, Dr. M.Pd., Administrasi Pendidikan Kontemporer, Alfabeta, Bandung. 2000.

H.A.R. Tilaar, Prof. Dr. M.Sc.Ed., Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional (dalam perspektif abad 21), Magelang, Tera Indonesia. 1998.

J. Drost, SJ., Dari KBK (Kurikulum Bertujuan Kompetensi) Sampai MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), Jakarta, PT. Kompas Media Nusantara, 2005.

Luwis R. Benston, Supervision and Management, New York, McGraw Hill Book Company, 1972.

Made Pidarta, Prof. Dr., Manajemen Pendidikan Indonesia, Crt. II, Jakarta, Rineka Cipta, 2004.

Mamduh M. Hanafi, Drs. MBA, Manajemen, Yogyakarta, Unit Penerbitan dan Percetakan Akademi Manajemen Perusahaan YKPN, 1997.

Sondang P. Siagian, Filsafat Administrasi, Jakarta, Gunung Agung, 1985.

Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan Penjelasannya, Yogyakarta, Media Wacana Press, 2003.

Wajong J, Fungsi Administrasi Negara, Jakarta, Djambatan, 1983.

________________________________________

[1] Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan Penjelasannya, Yogyakarta, Media Wacana Press, 2003. hlm. 9

[2] Drs. Mamduh M. Hanafi, MBA, Manajemen, Yogyakarta, Unit Penerbitan dan Percetakan Akademi Manajemen Perusahaan YKPN, 1997. hlm. 30

[3] Prof. Dr. Made Pidarta, Manajemen Pendidikan Indonesia, Crt. II, Jakarta, Rineka Cipta, 2004, hlm. 1

[4] Wajong J, Fungsi Administrasi Negara, Jakarta, Djambatan, 1983. hlm. 01 & 27.

[5] Luwis R. Benston, Supervision and Management, New York, McGraw Hill Book Company, 1972, hlm. 278-279.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar